Hari ini ulang tahun Ulya.
Ia sudah berumur 10 tahun! Begitu bangun, ia menendang selimut tipisnya, lompat
dari tempat tidur dan menuruni tangga, hampir saja menginjak ekor si Hitam,
kucing Siam yang hobi bermalasan di anak tangga. Benar saja, di atas meja TV,
ada setumpuk hadiah menanti. Mama tersenyum membawa secangkir susu coklat
hangat.
Papa Ulya, masih setengah bangun, menguap dan
mengucek-ucek mata keluar kamar, “Selamat pagi, Ulya.. Selamat ulang tahun…” hampir
berbarengan mereka mengucapkan.
“Slamatpagipapamamabolehgaakubukahadiahsekarang?”
teleter Ulya. Ia sudah tak sabar.
Ya, Ulya seorang anak yang selalu
terburu-buru. Ia ingin segalanya cepat selesai. Yang ada dalam pikirannya hanya
: cepat, cepat dan… cepat.
Sebenarnya Ulya sering
mengalami hal yang tidak menyenangkan gara-gara sifatnya itu, tapi Ulya tidak
peduli.
Sebagai anak tunggal, Ulya
tau, hari ini mama dan papa pasti memberi kado dan.. oya, kejutan menyenangkan lainnya kemarin, Papa
berjanji membawanya ke Dufan!
Papa menggumam, “Boleh,
bukalah.”. Secepat kilat, Ulya menyobek bungkusan kado-kadonya. Ia mendapat kiriman
satu set peralatan memasak dari Deva -sepupunya yang tinggal di Surabaya, buku-buku
cerita bergambar (dari nenek Septi, ibunya papa), jam tangan slapia yang bisa
menutup sendiri dari mama dan papa, sikat gigi bertangkai peri bunga (ini pasti
dari budhe Nita), dan dari om Didi adik papa, sepasang burung kenari kuning dan
hijau toska kombinasi lengkap dengan sangkarnya!
“Waah, itu burung kenari
khusus pesanan om Didi, loh, Ul.” Papa berkomentar. “Iya, Mama dengar waktu om
Didi pesan ke temannya di penangkaran burung Australia,”. Mereka mengagumi
burung parkit resessive pied Ulya.
Usai sarapan, mereka berangkat
ke Dunia Fantasi, Ancol. Di jalan, mama bertanya, “Ulya, tadi hadiah-hadiah
kamu sudah disimpan belum, di lemari?”.
“Sudah, ma. Kan tadi
mama lihat aku bawa semua ke kamarku.” Jawab Ulya masih menikmati pemandangan
sepanjang jalan menuju Ancol.
Ups! Matanya membulat…. Ada satu hal yang Ulya lupa. Burung kenarinya ia taruh begitu saja di lantai kamar, karena ia tergesa-gesa mengenakan pakaian. Ulya berdoa semoga saja ia tidak lupa menutup pintu kamarnya karena si Hitam suka sekali masuk ke kamar.
Mau bilang mama, Ulya
tidak berani, karena tadi sudah diingatkan. Jadilah sepanjang jalan, Ulya
gelisah.
Setibanya di Dufan, antrinya
sudah mengular. Panjang sekali. Papa sempat berseloroh, “Benar-benar do fun,
yah, Ulya..” sambil menggandeng bahu Ulya. Ulya mengedikkan bahu, ia sudah
tidak terlalu bersemangat seperti tadi pagi. Kalau Hitam tau-tau iseng masuk
kamar dan … wuush… ! Ulya mencoba mengusir pikiran kehilangan burung kenarinya.
Sebulan yang lalu, om
Didi yang pilot itu menanyakan ia ingin hadiah apa, dan Ulya menjawab ingin
sekali sepasang burung kenari berwarna-warni. Coba kalau om Didi tau ia teledor
dan kenarinya hilang, pasti om Didi marah, batinnya. Perutnya mengejang.
Mendekati loket
pembelian tiket, Ulya menarik tangan Mama. “Ma, kayaknya Ulya ngga jadi masuk
ke Dufan, deh…Ulya sakit perut, nih.” Mama terkejut. Memang benar, keringat
sebesar butir jagung sudah ada di dahi Ulya.
“Bagaimana, ini, Pa?”
Mama menengok papa meminta persetujuan.
“Ya sudah, kita minum
teh panas saja dulu, nanti kalau Ulya sudah baikan, kita kan bisa antri lagi. Ya kan, nak?”
“Ngga usah deh, Pa. Ulya
mau pulang saja. Perut Ulya benar-benar sakit. Kita ke Dufannya kapan-kapan
saja lagi, deh..” setengah menangis Ulya memegangi perutnya. Rasanya melilit.
Begitu mobil memasuki pekarangan
rumah, Ulya melompat keluar, membuat Mama dan Papa geleng-geleng kepala. Ia
berlari dan… apa itu di teras…. “Hitam! Makan apa kamu? Mbak Indriiiii….” Ulya setengah tidak percaya, melihat di mulut
si Hitam ada bulu burung. Aduh! Jantungnya mau copot.
“Kenapa, mbak Ulya? Kok heboh,too..”
Indri, asisten rumahtangga Mama datang dari samping, masih memegang pakaian
yang mau dijemur.”Itu, mbak… Hitam makan apa itu?” sekarang Ulya sudah tidak
bisa menahan rembesan air matanya. “Ooo.. itu tadi Item mainan kemoceng mbak..”
Haah? Jadi… Ulya bertabrakan dengan
mama yang melihat kehebohannya.
“Nah yaa… sekarang Mama tau, Ulya
tadi pasti tidak menaruh kandang burung kenarinya di atas, kan? Ulya takut, ya,
si Hitam makan…..” Mama tidak menyelesaikan kalimatnya.
Ulya mengangguk. Lemas. “Mama tau,
pasti Ulya lupa, buru-buru ingin ke Dufan, jadi tadi Mama minta tolong mbak
Indri taruh di teras atas. “
Papa tersenyum geli. “Ulya, anak Papa paling cakep, pinter…. Hadiah
apa yang paling berharga hari ini buat kamu, haa..?”
Ulya menunduk, senyum juga. “Belajar
sabar, papa……” Mama memberi jempol, “Siip…”
“Terus.. ini kan masih jam 10.00,
kita masih keburu ke Dufan lagiiiii….Aaaw!” Papa menggelitiknya.. Ulyaaa….
Ulyaaa…….
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus