Sebagai penulis dan
jurnalis.. jiaah.. seringkali kita bentrok dengan tokoh-tokoh dalam novel yang sedang kita buat. Kadang seolah mereka
menentukan destiny mereka melalui tangan kita. Nah, hal serupa dirasakan oleh
salah seorang rekan penulis dalam salah satu latihan penulisan fiksi yang diselenggarakan
oleh WSC bulan ini.
Aku penasaran dengan
pemaparannya tentang SARA, ia khawatir saat tulisannya diangkat menjadi sebuah
novel, akan terjadi conflict of interest
dengan pihak yang suku/agamanya ia angkat ke permukaan.
Jadilah aku riset
kecil-kecilan tentang SARA. Menurut Ibnu Dawwam Aziz dalam kompasiana.com, actually,
isu SARA dikumandangkan saat rezim Soeharto, sebagai bagian dari strategi
manajemen konflik beliau.
Jadi teringat pada
ajaran guru agamaku dulu, isu SARA sangat sensitive untuk diangkat ke
permukaan, tak hanya karena keragaman bangsa Indonesia namun juga karena
Kumpeni sudah merasuk sedemikian rupa dengan politik devide et impera-nya,
sehingga kita cenderung ‘fanatik’ pada satu isu/paham agama, sosial dan budaya.
Tau raja-raja Jawa,
Sumatera dan sebagainya itu, kan? Kalau kita tengok sejenak, sebenarnya mereka
adalah ciptaan Kumpeni yang hingga saat ini bisa kita rasakan.
Seharusnya mas Imron
Masyhadi mengangkat thema ini dengan
menitik beratkan pada keindahan cerita, mempersatukan beberapa karakter hingga
yang tercipta adalah rasa kebersamaaan kita, sudut pandang pemahaman masalah..
Ingat Boris di
stand-up comedy? Dia berhasil mengangkat
karakter suku Batak yang selama ini identik dengan kasar, spontan dan
meledak-ledak dengan gaya yang natural. Apakah ada yang tersinggung? Tidak,
bukan?
Kita malah
menantikan Boris mengangkat thema daerahnya ini.
So, don’t give up,
dear writers, kemaslah isu-isu menarik di sekitar anda tanpa berniat untuk
memecah belah seperti Kumpeni, tapi dengan niat ibadah ^_^ ! Keep on going!
Yah, sebenernya isu SARA ini juga tergantung bisa dewasa dan nggaknya yang nanggepin sih.
BalasHapusSetuju mak.. Mengemas semua isu utk kebaikan, dengan niat ibadah..
BalasHapusPenulis itu harus, bahkan sungguh-sungguh cerdas ya Mak :)
BalasHapusAaaaa ini pencerahan banget buatku, Mak.
BalasHapusAku lagi nulis draft novel dan agak ngeri karena salah satu tokohnya kental banget dari suatu suku.
Thanks for sharing ^_^
*semangat lagi*
- @ceritaeka
ceritaeka, kalau udah jadi, share yaa novelnya.. sukses !!
HapusmBak Ika Hardiyan AKsari... menurut Ari Ginanjar Agustian pakar ESQ, menjadi penulis bukan kecerdesan IQ yang dibutuhkan, tapi EQ SQ
BalasHapuskita dituntut 'peka' pada saat membaca.. jadi ingat status saya di FB beberapa hari yang lalu. :
Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluk pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, dan ayat pertama berbunyi “Baca!” Tersebut dalam hadis riwayat Imam Ahmad dan ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam Fatawa, “Makhluk pertama yang dicipta-Nya ialah pena, lalu Dia berfirman, “Tulislah!” Tanya Pena, “Apa yang kutulis, wahai Rabbi?” Maka Allah titahkan, “Tulislah segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluk-Ku sejak awal zaman hingga akhir waktu.”
*Sallim A. Fillah
ito Helma Parangin-angin (hihi.. panggilannya ito kan yah. kalo sale-sale kate maapin aye yak)
BalasHapusmungkin disitu peran kita saat 'menulis' ya.. :)
dear 空ã‚セノ, I'm glad that u're comment like that. A few days ago, one of our friend, Rif'ati Djunet also involved and argue with a man, and he told bad about her... SARA is very controversial for a few people..
BalasHapusbtw, forgive my English.. just try to practice it with you :)
Isue SARA yang hendak diangkat, mungkin harus dikemas sebaik mungkin untuk meminimalisir friksi2 yang akan timbul nantinya, ya, Mbak? :)
BalasHapushai maaak, maaf gak kebaca :(
Hapusbetul, jadi inget SARA yang sebenernya itu apa