“Krriing..
kriing… kriing .. kriing..”
Dering
bel sepeda memecah keheningan siang yang terik. Suara lantang seorang ibu
terdengar.
“Baca
buku.. biar tau..Baca baca.. Buku itu.. jendela dunia.” Dendangnya selalu.
“Aduuh..
ni orang mengganggu saja.. “ Fifi menggerutu waktu seorang ibu paruh baya
melintas dengan sepedanya. Keranjang sepedanya penuh dengan buku-buku,
majalah-majalah tua, bahkan resep masakan juga ada! Ia selalu lewat tepat pukul
14.00 siang.
“Krieet..
kriieet..” Bunyi sepedanya berderit saat
melintas di depan rumah Fifi. Tetangga kompleks memanggilnya Bunda Prima.
Seingat
Fifi, Bunda Prima sudah berkeliling kompleks yang oleh Pemerintah di sebut RSS
atau Rumah Sehat Sederhana itu, sejak ia lahir. Dulu waktu Fifi kecil, ia
sering meminjam atau tepatnya menyewa majalah anak-anak Bona, Adinda juga Kwak
Bebek yang terkenal.
Tapi
siang ini, ia jengkel sekali mendengar suara itu. Konsentrasinya buyar. Fifi,
Azzam, Aniqa dan Kayla memang sedang mempersiapkan Ujian Akhir Semester. Sudah
satu jam mereka habiskan untuk mengerjakan soal-soal Matematika dan IPA.
Brr..
serempak ibu-ibu, para Pembantu Rumah Tangga dan beberapa anak kecil merubung
di sekitar sepedanya. Nah..tempat yang paling strategis itu, ya di depan rumah
Fifi. Disitu ada gardu ronda dan pohon nangka yang besar sekali.
Ditengah
riuh rendahnya suara, Fifi menghampiri kerumunan dengan menghentak-hentakkan
kaki. Kekesalannya memuncak. Dengan suara lantang ia menegur.
“Bu,
maaf ya, jangan lama-lama. Kami sedang belajar untuk UAS, nih. Besok terakhir.”
Dahinya mengernyit. Bunda Prima kaget ditegur seperti itu.
“Wah,
maaf mbak Fifi.. Iya, ayo ibu-ibu, mbak-mbak, yang sudah selesai silakan
dicatat. Uangnya minggu depan saja.” Buru-buru Bunda Prima mencatat nama-nama
peminjam buku dan majalah. Merapikan buku yang terserak lalu berlalu. “Kriing..
Kriing.. Baca.. Baca..” Suaranya menghilang di tikungan.
“Kenapa
marah-marah begitu sih, Fi.. Sama orangtua ngga sopan, ah. Pamali atuh...” Kayla yang Mojang Priangan menegurnya lembut.
“Habis
berisik, Kay.. Siang bolong begini, mana otakku penuh..huuh..” Fifi berargumen.
Dahinya masih terlipat. Membuat Azzam usil berkomentar.
“Jidat
tuh, disetrika dulu sana. Hafalannya takut masuk situ..ha ha ha ha..” Intermezzo
Azzam mencairkan suasana yang tadinya tegang.
Bude
Popi keluar membawa nampan dan lima buah gelas berisi es jeruk peras. “Hayoo..ngetawain
Bude, ya.. “. Bude menaruh nampan.
“Loh,
kok lima, Bude? Dua pasti buat Azzam, ya. Makasih budeee..” seloroh Azzam.
“Eh,
bukan. Bude mau mengembalikan buku-buku resep Bunda Prima sambil ngasih minum.
Kan kasihan.. jauh loh, rumahnya. Sekalian Bude mau bilang terimakasih. Berkat
buku-buku resepnya, sekarang Bude sering dipanggil masak oleh ibu-ibu. Kemarin,
mas Tito masuk kuliah kan hasil tabungan masak Bude juga.“ Terang Bude Popi
panjang lebar.
O..oo…
tiga kepala menoleh ke Fifi. Ia membelalakkan mata. “Apa sih..?”
“Aku
juga jadi ingat, ayahku berlangganan baca majalah kesehatan. Beliau sembuh dari
sakit asam uratnya karena sering baca dan diskusi dengan Bunda Prima.” Timpal
Aniqa.
“Ya
sudah, ngasih minumnya lain kali saja. Silakan lanjut belajarnya.” Bude Popi
berlalu.
Fifi
menghela nafas. Ia menyesal sudah membentak Bunda Prima.
Tuk.
Tuk. Tuk. Pensilnya mengetuk meja. Tiba-tiba, matanya bersinar.. “Eh, man
teman.. Aku punya ide, nih.. Bagaimana kalau kita ikut meringankan Bunda
Prima?”
“Meringankan
gimana, Fi?” Tiga kepala menyatu. Kepo bin
penasaran.
“Kan
tadi kata bude, rumah Bunda itu jauh. Nanti kalau sudah selesai UAS, kita bikin
Rumah Baca yuk, jadi kita mencatat buku-buku yang keluar, uang sewa yang masuk.
Semacam itulah. Jadi Bunda Prima ngga perlu setiap hari keliling.”
“Ha!
Aku juga mau ikut menyumbang buku, deh. Di rumah ada banyak majalah, koran dan
buku-buku bekas pelajaran.” Kayla menepuk pundak Fifi. “Idemu brilian, Fi!”
“Kawan,
berhubung kalian membutuhkan tenaga perkasa, Azzam and the gang akan membuat rak-rak bukunya. Tenang saja.
Ayahku punya banyak kayu-kayu bekas peti kemas.” Azzam menepuk dadanya keras.
“Uhuuk!”
“Hei,
tempatnya dimana dong?” Celetuk Aniqa.
“Aniqa,
kan Papamu Ketua RT, coba minta ijin beliau. Boleh tidak, memakai sedikit ruang
Posyandu?” Tawar Fifi. “Oke, deh..”
Jadilah,
sisa sore itu dihabiskan keempat anak dengan semangat. Mereka menyusun rencana
untuk membuat Rumah Baca di kompleks. Ketika matahari menundukkan kepala
sehingga semburat jingganya mengenai teras, mereka pun bubar.
Keesokan
hari, Fifi dan ketiga temannya berniat menghadang Bunda Prima di depan gardu
ronda. Hingga pukul 14.20, Bunda Prima tidak menampakkan batang hidungnya. Fifi
mulai gelisah. Dadanya berdebar karena ingin segera memberi kabar baik itu.
“Fi,
masih lama ngga, sih.. aku mau main futsal, nih.. sudah ditunggu Eki dan Danu.”
Azzam menyepak-nyepak rerumputan.
“Wah..
ngga tau, Zam. Ya sudah, kamu futsal dulu. Nanti kita aja yang kasih tau
Bunda.”
“Sip.
Oke!” Ia mengacungkan jempol dan berlari pulang.
Fifi,
Kayla dan Aniqa masih mendiskusikan rencana mereka. Kayla dan Aniqa malah sudah
membawa dua kantong plastik besar berisi buku-buku bekas.
Lamat-lamat
suara azan Ashar terdengar.
“Kriing..kriing..
Baca..baca..” Krieet.. krieeet.. Ah! Tak pernah Fifi sebahagia ini mendengar
suara bel dan genjotan sepeda reot itu.
“Bunda!
Kok lama sekali, sih..” mereka merubung sepeda. Bunda Prima tersenyum, menaruh
sepeda dan … berjalan terpincang-pincang ke arah gardu.
“Loh,
kaki Bunda kenapa? Kok diperban begitu? Bunda sakit? Kan kemaren ngga
apa-apa?”. “Aduuuh..anak-anak manis, satu-satu dong, pertanyaannya… Iya, kaki
Bunda sakit, kemaren jatuh di got dekat jalan raya. Bunda buru-buru, sih..” Ia
menjawab sambil meringis.
Rasa
bersalah merayapi hati Fifi. Jangan-jangan.. ditepisnya rasa malunya. “Kalau
sakit, kenapa bunda masih keliling?” Tanya Kayla penasaran.
“Habis
kasihan teman-teman yang ingin baca, mbak. Bunda juga dulu begitu, rasanya
ingin membacaa.. terus. Dengan membaca, banyak sekali ilmu yang didapat, dan
bahkan sedikit bisa menghibur diri dari kenyataan hidup.” Bunda menjelaskan.
“Nah,
bunda, saya dan kawan-kawan berniat meringankan beban bunda. Ini, ada buku-buku
bekas dan majalah lama. Terus, Aniqa juga sudah minta ijin pak RT, papanya,
buat ruang baca sementara. Tuh.. di Posyandu situ.” Tunjuk Fifi ke Posyandu.
Bunda
Prima terdiam. Lama. “Bunda ngga senang, ya..?” Pelahan Aniqa bertanya.
“Bunda
ngga tau harus bilang apa. Senang sekali, akhirnya ada juga yang peduli.” Mata
Bunda Prima berkaca-kaca. “Terimakasih, teman-teman kecil.. walaupun perjalanan
kita masih panjang, akhirnya mimpi Bunda untuk bisa memiliki Rumah Baca tercapai.”
Bunda Prima menggenggam tangan Aniqa, Fifi dan Kayla.
Kayla
mengerlingkan matanya ke Fifi. “Psst.. Bun, tau ngga, kalau ngga ada kejadian
kemaren… Aaw!” Kayla mengaduh. Kakinya diinjak Fifi kuat-kuat.
Mereka
tertawa lepas. Berniat bahu-membahu untuk wujudkan Rumah Baca RT 005.
Tidak ada komentar
Posting Komentar
TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)