sumber gambar: cariartikel.blogdetik.com
Indonesia adalah negara
yang hebat. Kenapa? Karena di Indonesia, ada empat orang Rudy yang terkenal di
bidangnya masing-masing. Mereka adalah :
1. Rudy Habibie – ahli
mesin dan pesawat terbang
2. Rudi Choirudin –
ahli masak
3. Rudi Hadisuwarno –
ahli rambut dan kecantikan
4. Rudi Hartono – ahli
olahraga bulutangkis
(Quote by kak Seto)
Apa hubungannya, sih ?
Oke. Sore itu, saya
menghadiri acara buka puasa bersama di rumah seorang sahabat, Dian namanya. Seperti
biasa, emak-emak saling curhat trending
topic awal tahun ajaran baru : ranking berapa dan saat ini sedang mengikuti
les atau bimbel dimana?
Awalnya saya tidak
terlalu fokus, namun tiba-tiba, dengan nada tinggi Dian bercerita tentang
Shafwaa, putrinya yang saat ini duduk di kelas 6 SD.
Shafwaa : “Mami,
pokoknya aku sudah tidak mau lagi ikut les ini dan itu, aku capek! Bosen!
Materinya itu-itu saja.”
Dian : “ Oke, tapi yang
penting les Kumon kakak jangan berhenti, ya. Yang lainnya mami turutin deh.”
Shafwaa (dengan nada
kesal): ”Aku kan bilang, aku capek! Mami masak ga mau tau kemauanku apa.
Seorang ibu itu wajib hukumnya tau segalanya, mami!”
Dian (melembut) : “Kak, seorang ibu itu tidak harus tau
segalanya. Lah, wong cara berfikir kita aja beda. Kakak mikir pakai otak kanan,
mami pakai otak kiri. Jadi mana mami tau kamu suka apa.”
Dian adalah seorang
analis kimia dan obat-obatan di sebuah Departemen serta trainer Hak Paten di
beberapa perusahaan, sedangkan Shafwaa –sejauh yang saya kenal sebagai guru
privat Englishnya- adalah seorang anak dengan kreatifitas tak terbatas. Ia suka
dengan seni dan cenderung menilai segala sesuatu dari sudut personal. Otaknya menjelajah
segala lini dalam perspektif seorang otak kanan. Contohnya ?
Dalam mata pelajaran
Matematika, jika ditanya seorang ibu membeli 155 kilogram apel di Kota Bandung
dengan harga Rp.25.000,- per kilogram. Berapakah total harga yang harus ibu
bayar?
Shafwaa tidak akan
tertarik pada rumus baku dan langsung mengalikan jumlah apel dan rupiah dalam
logika berhitung, namun ia akan memperhatikan kenapa ibu membeli apelnya di
Bandung dan bukan di kota Malang, karena apel Malang kan lebih terkenal
daripada apel di kota Bandung?
Bagaimana dengan saat
pelajaran Sains yang notabene adalah hafalan? Jika seorang Shafwaa kita biarkan
‘menghafal’ bab tentang bunga dan nama Latinnya lalu diberi tempo sejam,
misalnya. Maka bisa kita pastikan, di balik buku, ia sibuk mengkhayal jenis dan
warna bunga yang akan ia gunakan jika satu saat ia berkebun, atau menikah!
Alamaak!
Salahkah Shafwaa?
Hmm..kita mau mengkajinya dari sisi mana dulu? Beberapa waktu lalu, saya
mengikuti pelatihan Cerdas Mengajar oleh Mrs Tessie Setiabudi dan Mr Joshua
Maruta dari Amerika. Beliau menyebutkan bahwa pola pendidikan di Indonesia, mengharuskan
setiap anak mempelajari sekitar 10 hingga 15 materi pelajaran dalam satu
semester. Dan, prestasi terbesar adalah
jika anak memiliki nilai tinggi dalam mata pelajaran Ilmu Pasti seperti
matematika, sains, fisika, biologi dan kimia yang membutuhkan keterampilan
berfikir dengan otak kiri.
So, bagaimana nasib seorang
anak yang berfikir dengan otak kanan? Oya, saya kutipkan pendapat pakar tentang
ini, yah. Otak besar dibagi menjadi belahan kiri dan belahan kanan, atau yang
lebih dikenal dengan Otak Kiri dan Otak Kanan. Masing-masing belahan mempunyai
fungsi yang berbeda. Otak kiri berfungsi dalam hal-hal yang berhubungan dengan
logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika
atau pusat Intelligence Quotient (IQ).
Sementara itu otak kanan berfungsi dalam perkembangan Emotional Quotient (EQ). Misalnya sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari, melukis dan segala jenis kegiatan kreatif lainnya. (http://www.terapimusik.com)
Sementara itu otak kanan berfungsi dalam perkembangan Emotional Quotient (EQ). Misalnya sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari, melukis dan segala jenis kegiatan kreatif lainnya. (http://www.terapimusik.com)
Jadi, jika kita berpikir atau suka berimajinasi, bisa
dipastikan otak kanan kita lebih dominan. Kalau berpikirnya sering dengan
pernyataan logis dan ilmiah ya bisa dipastikan otak sebelah kirilah yang
dominan.
Kembali pada
perbincangan dua ibu anak di atas, saya menyarankan pada sang mami untuk
melonggarkan sejenak ‘ikatan’ les yang mengharuskan Shafwaa berfikir dengan
otak kirinya. Sebaiknya, dampingi ia saat belajar dan pahami hobby utamanya.
Sehingga, belajar tidak hanya demi nilai sesaat di sekolah, melainkan demi
hidup itu sendiri.
Anda tentu ingat
kata-kata Seneca: “Non scholae, sed vitae
discimus” yang artinya : Kita
belajar bukan hanya semata-mata untuk (menyelesaikan) sekolah, namun demi
kehidupan. Demikian dua pesan moral yang dapat kita petik dari surat Seneca (4
SM – 65 M), seorang filsuf dan pujangga Romawi kuno, kepada temannya, Lucilius.
Ya, kita belajar bukan demi sekolah, tetapi demi hidup! Fatal jadinya kalau kita mengajari anak-anak kita untuk belajar hanya demi nilai ujian di sekolah, dan melupakan hidup itu sendiri !!!! Ingaaa.. ingaaa.. ting !
Ya, kita belajar bukan demi sekolah, tetapi demi hidup! Fatal jadinya kalau kita mengajari anak-anak kita untuk belajar hanya demi nilai ujian di sekolah, dan melupakan hidup itu sendiri !!!! Ingaaa.. ingaaa.. ting !
Jadi, seperti ucapan Kak
Seto yang awet muda dengan poni dan senyumnya yang lembut itu berpesan, kembangkanlah
anak-anak anda sesuai dengan minat dan bakatnya, sehingga kelak Indonesia akan
mempunyai Rudi-Rudi dengan keahlian masing-masing. Salam!
( Tulisan ini dimuat dalam rubrik Women's Script sebagai materi Writer to Writers )