“ T „
PROLOG
Aku bersumpah
demi dewa teh herbal, Nenek Meichan mencelupkan satu jarinya ke dalam salah
satu mangkuk teh, dan seketika terlihat lima, tidak sepuluh tahun lebih muda!
Ia tersenyum manis padaku, tapi dengan tatapan sedingin es. Sekarang aku percaya,
bahwa usia Nenek genap empat ratus tahun.
Tepat
jam empat sore, Bibi Gumancha pelayan Nenek Meichan menuang air panas kedalam
poci teh. Ia menjumput daun teh kering dan sebentuk rumput keemasan dari mangkuk
porselen. Seketika aroma buah bergamot, sejenis sitrus dengan aroma yang khas
memenuhi udara. Kami, delapan anak-anak di perkebunan teh MAYO ini, mengambil
posisi sedekat mungkin dengannya. Menanti segelas teh hijau –tanpa ekstrak
bergamot, tentunya- dibagikan bersama dua bungkah kecil gula batu.
Seminggu sekali, di hari
Sabat, kami boleh beristirahat sejenak di karpet tebal milik majikan kami, Tuan
Mayo. Selama sejam istirahat sambil
minum semangkuk teh hijau dan beberapa potong biskuit, kelelahanku menguap. Kami
menyeruput teh panas manis pelan-pelan, mendengar
beberapa dongeng tentang daun teh. Nenek Meichan yang tetap terlihat awet tua
itu akan bercerita.
Kemewahan
ini kami nikmati karena sehari-hari, sepulang sekolah kami harus membantu
orangtua kami yang lelah bekerja memetik pucuk daun. Kami akan memanggul daun
teh dengan pundak kami yang kecil, lalu menaruhnya di ruang mesin fermentasi.
Seingatku, rutinitas ini sudah ada sejak nenek dari nenekku tinggal di
perkebunan.
Oya,
cerita favorit kami adalah tentang pejuang teh bernama Ai Li Shan dan Da Yu
Ling serta hilangnya formula rahasia teh ginseng emas. Hah! Tentu saja aku, si
Chiuming -yang berarti musim gugur yang cerah- tak percaya begitu saja. Tak apalah. Tapi sore
ini, setelah aku menyaksikan mangkuk teh bergagang emas milik Nenek Meichan,
aku ragu. Benarkah itu semua hanya dongeng?
Nenek
Meichan membersihkan tenggorokannya.“Ehem ..ehem.. di satu masa, ada seorang
prajurit teh. Seorang gadis berusia kira-kira dua belas tahun. Mata dan
rambutnya berwarna kemerahan, seperti daun oolong
tea yang dijerang air mendidih. “ Matanya yang awas mengamati wajah kami
satu persatu.
“Aah! Wajahnya
persis seperti kau, Chiuming. Tentu saja tidak dekil dan berantakan.” Nenek Meichan tersenyum. Serempak
teman-temanku mendorong tubuhku dan berteriak “Wuuuu..”
Aku hanya
nyengir. Lebar. Tentu saja aku bangga dibilang seperti seorang prajurit wanita.
Sorot mata Nenek Meichan melembut melihatku.
“Ia adalah
penyelamat generasi teh selanjutnya. Jika tak ada Ai Li Shan dan panah peraknya,
mungkin saat ini Nenek tak tahu rasa teh yang lain. Tak akan ada teh herbal,
teh hijau dan teh bunga.” Nenek Meichan diam sejenak. Kami menahan napas. Kami
belum tahu cerita yang ini.
“Hanya
ada teh hitam! Teh hitam rasa herbal, teh hitam rasa bunga, teh hitam ini, teh
hitam itu..semua sama. Teh hitam. Dan..” ia melambaikan kedua belah tangannya. Ah, dramatis amat, pikirku.
Bibir
Nenek Meichan melengkung ke atas. Membentuk senyum tipis. “Takkan pernah ada
keluarga Mayo. Termasuk aku.”
Ai
Li Shan melemparkan buah cherry terakhir dari kantung kulitnya. Hop! Dengan
tangkas Honey, burung phoenix piaraan
Ai Li Shan menangkap dengan paruhnya.
“Habis,
Hon. Pulang, yuk!” Ai Li Shan merapikan anak panah yang berserakan. Honey
menelengkan kepalanya menunggu. Suiiit. Ai Li Shan memonyongkan bibir
dan menyorongkan lengan kiri. Dengan patuh Honey yang sedang bertengger di puncak
patung tembaga Raja She Nongshi terbang
lalu hinggap di bahu kirinya.
Sore
itu, sebenarnya jadwal belajar main musik har gui no –alat musik penduduk
Negeri Tea Tha Reeq. Har gui no adalah
sejenis alat musik petik berbentuk harpa namun dipetik seperti gitar dan mengeluarkan
suara berdenting seperti piano. Alat
itu diciptakan oleh Professor Toucha sekitar seribu tahun lunar yang lalu. Ai
Li Shan dan beberapa pejuang teh sudah menunggu selama limapuluh hirupan, namun
sang guru tak datang juga.
“Li
Shan, aku pulang dulu. Mama Ti akan marah jika tahu aku membuang waktu dengan
menunggu. Hari ini Mama Ti menjemur beberapa tanaman yang digunakan untuk teh herbal.” Ai Mei Chan
menahan kuapnya. Ia bosan.
Ai Wu Mei menimpali, “Yah. Kalau
begitu aku juga.” Ia merapikan tas kulitnya. Ai Li Shan melirik Da Yu Ling,
satu-satunya anak lelaki. Yang dilirik memberi salut dengan tangan kiri. Memutar tubuh dan berjalan ke arah hutan
cemara.
“Zai
jian, Li Shan. Oma menyuruhku membawa bibit bunga rosella dan sepatu sore
ini.”
“Hmmh… baiklah, sampai ketemu, Yu
Ling. Sampaikan salamkuu..uu..” Ai Li Shan harus berseru karena Da Yu Ling
sudah jauh.
“Lincah amat itu anak.” Ai Li
menggaruk-garuk kepangnya yang tidak gatal. Sore ini ia tidak punya jadwal
apa-apa. Hanya memberi makan kura-kura penjaga gerbang laboratorium Professor Lan.
Itupun nanti setelah matahari terbenam.
Hmm,
aku menguji kecepatan Honey terbang sajalah, sekalian berlatih memakai panah
baruku, pikir Ai
Li Shan.
Suuiiiiit! Suuiiit! Fiiiuuuu..!
Ia bersiul tiga kali. Tak lama, Honey
melayang mendekati. Hinggap di bahu kiri
Ai Li Shan. Meminta jatah buah cherry.
Ai Li Shan memasukkan tangan ke dalam kantung kulit kecil di pinggangnya. Mengambil
segenggam buah cherry dengan tangan
kiri, sementara tangan kanannya menarik pelatuk crossbow, alat pemanah otomatis.
Ia melempar buah cherry ke udara sejauh mungkin.
Wwuuussh..!
Honey terbang secepat kilat.
Satu .. dua .. tiga.. siuuut …..Tap!
Tap! Tap!
Dalam hitungan tiga, ia sudah
mengunyah beberapa buah cherry yang
tadi bertebaran di udara.
Tiga buah cherry berhasil menancap di
anak panah khusus miliknya. Ai Li Shan bertepuk tangan kegirangan. Sayang, tak ada yang melihat, gumamnya. Lagipula, kalau mereka melihat,apa lantas
aku diberi hadiah? Ai Li Shan tersenyum sendiri.
Matahari sudah beranjak ke barat,
tanda hari akan gelap. Di dunia teh, kegelapan cepat sekali datangnya, namun
pagi buat mereka adalah tatkala matahari belum lagi bersinar. Penduduk dunia
teh memang rajin. Saat embun belum lagi menguap, mereka sudah mengumpulkan
daun-daun peppermint pedas. Di
beberapa tempat, petani bunga rosella
dan chrysantemum bahkan sudah menyirami kebun mereka.
Kehidupan di dunia teh sarat dengan
bau-bauan yang wangi. Ada beberapa jenis bunga, rerumputan dan akar-akaran yang
mereka kumpulkan setiap hari. Makanan pokok mereka tentu saja dedaunan. Namun
pucuk daun teh hanya dinikmati oleh segelintir kaum. Biasanya kaum bangsawan, kesatria
dan pendeta. Keistimewaan diberikan kepada para pakar peracik teh herbal. Mereka
harus mencicipi, meramu dan menciptakan beberapa jenis teh untuk memenuhi
sumber energi dunia teh.
Sebagai bahan bakar, digunakan teh
ginseng di Pusat Ginseng Tenaga Air, Pusat Ginseng Tenaga Angin dan Pusat Atom
Ginseng. Semua diawasi di dalam sebuah lembah rahasia. Gerbang menuju lembah Tea Pot dijaga ketat oleh kura-kura
raksasa bernama Kura-kura Marin Emas. Tak sembarangan, sepintas jika kita tak
tahu, lembah ini berbentuk seperti sebuah kubangan lumpur biasa. Penjaga kunci
rahasianya adalah puluhan kesatria tembaga. Kriterianya adalah berpengalaman,
terdidik dan terlatih berkelahi, memainkan panah dan senjata otomatis.
Juga…cantik!
Picture : Jalan setapak ke perkampungan
Ai Li Shan melompat-lompat naik
pegas bermotor miliknya menyusuri jalan setapak. Sebagai kesatria teh tembaga,
tentu saja ia memiliki kendaraan. Berbentuk pegas yang dapat ditarik memanjang.
Karena hari sudah gelap, Ai Li Shan memutuskan memakainya. Apalagi ia sudah harus
bertugas tepat setelah matahari terbenam.
Tigapuluh kali melompat dengan
kecepatan sedang, Ai Li Shan dan Honey sampai di depan gerbang rahasia laboratorium. Sebelum
turun ke lembah, Ai Li Shan menyuruh Honey terbang ke arah kandangnya di rumah.
Ia lalu menggeser sebentuk papan yang tak kelihatan dengan beberapa jarinya.
Zzaaap. Pintu kaca besar –yang tadi
terlihat hanya sebagai batang pohon- bergeser ke atas. Dengan prinsip fisika
sederhana, Professor Lan telah berhasil membuat pintu kamuflase laboratorium berbentuk setengah lingkaran ini, sekilas
seperti lembah berlumpur. Ai Li Shan tahu, beberapa profesor telah bekerja keras agar menerapkan sistem
keamanan tingkat tinggi.
Ai Li Shan tersenyum senang melihat
Kura-kura Marin Emas yang sedang tidur di dalam kandang kaca. Ia baru saja
membuka pintu kedua, ketika terantuk sebuah kaki yang melintang.
“Hei! Apa yang..”
Duug! Bak! Buk! Sebuah pukulan benda
tumpul bersarang di belakang kepalanya. Dua buah tendangan menyusul mengenai
punggungnya. Ai Li Shan terjatuh dengan muka menghadap ke lantai marmer. Ia berusaha bangun ketika sebuah hantaman
mendarat di atas kepalanya. Brug! Seketika semua gelap.
“Li Shan! Li Shaan! Bangun, Li
Shan!” Pipinya ditepuk-tepuk oleh sebuah tangan yang dingin. Sontak ia
menangkap tangan itu dan memuntirnya.
“Aaw! @!*6%! Sakit, tahu!” Sebuah mantra kutukan alias sumpah serapah
dengan suara berat terdengar. Ai Li Shan buru-buru duduk. Hueek… rasa pusing
yang hebat melanda syaraf-syaraf di pelipis ketika ia berusaha membuka mata.
Mengirim sinyal mual ke perutnya.
“Hei..hei.. tenang, jek!
Pelan-pelan. Kamu kena gegar otak, kayaknya.”
Ah, dengan lega Ai Li Shan kembali berbaring. Ia kenal suara itu. Da Yu
Ling. Berarti situasi aman.
“Yu Ling, nih kasih ke Li Shan.”
Suara Profesor Lan terdengar. Memberi sebuah gelas dengan pipet berisi teh
panas dengan ramuan herbal beraroma pedas pahit. Yu Ling menyorongkan ke bibir Ai
Li Shan yang langsung mereguknya. Seketika rasa segar mengaliri kerongkongan,
mengusir pusing dan kunang-kunang yang tadi menari di rongga matanya.
“Ugh. Profesor? Maaf, tadi saya
tidak sempat membela diri.” Ai Li Shan mencoba berbicara. Ia bangun dengan
bertopang pada sebelah tangan Da Yu Ling.
“Sudahlah. Yang penting kamu tidak
apa-apa. Di laboratorium tidak ada yang terluka parah, hanya ..” Profesor Lan
tertunduk sedih.
Ai Li Shan mendongak, “Hanya apa,
Prof?”
“Kura-kura Marin Emas tertidur
nyenyak. Ia diberi obat tidur dalam dosis besar, sehingga dokter No bilang, denyut
nadinya lemah sekali. Dan.. seluruh ginseng emas berikut formula rahasia
lenyap..”
“What?
Eh..apa, Prof?” Li Shan yang kalau sedang gugup bisa tiba-tiba berbicara dalam
bahasa asing terduduk. “Hilang? Dicuri,
maksudnya?”
“Nggaak, Li Shan, dibuang. Ya
dicuri, lah!” Yu Ling mendelik kesal.
“Oh. Lantas, siapa yang tadi
pingsan, Yu Ling?” Da Yu Ling menceritakan semua yang terjadi. Ketika ia sampai
di rumah, ia telah dikontak melalui communica-tea
–sistem telepon bangsa Teh- oleh asisten
Profesor Lan, menanyakan dimana Ai Li Shan berada. Telah terjadi kekacauan di
laboratorium. Maka Da Yu Ling segera
menyusul, namun pintu laboratorium telah terbuka lebar, dan Ai Shan Ta serta Ai
Li Shan sudah telungkup tak sadarkan diri.
Sebuah suara kaki ringan melangkah
mendekat, setengah diseret. Ai Li Shan mengenalinya. Suara kaki Ai Shan Ta,
kesatria tembaga yang bertugas di shift
siang.
“Li Shan?”
“Shan Ta?”
“Hmmh. Dan aku, Yu Ling! Bisa ngga
sih, kamu langsung nanya aja? Ngga usah main drama dulu?” Da Yu Ling yang
sedang mengecek sistem alarm pintu
bersama seorang teknisi kembali menyela.
Ai Li Shan mendengus. “Shan Ta, kamu
ikut aku besok, fajar menyingsing aku berangkat ke Pusat Data di bukit
Tipuccino. Yang pertama kita lakukan adalah menyelamatkan Marin. Di dalam
tubuhnya kan ada chip data.
Mudah-mudahan tak rusak oleh pukulan dan obat bius.“
Ai Shan Ta mengacungkan kedua
jempolnya. “Siap, kapten!”
Profesor Lan mengangguk setuju.
“Bagus. Yu Ling, tugas kita besok menghubungi Jenderal Bo Shwa, untuk melapor
dan mencari solusi energi. Kalian pulang saja dulu, untuk sementara Tipol
–Polisi Teh- akan bertugas menjaga.”
Ketiga kesatria muda itu memberi hormat
pada Profesor Lan, menaruh tangan kanan di dada. “Siap, Prof.”
“Ati-ati ya Prof.”
“Sampai fajar, Prof!” Dan
meninggalkan laboratorium dengan dikawal oleh seorang Tipol hingga tujuan.
Ai Li Shan tak lupa mengecek
keberadaan Honey dari communica-tea
pada mamanya. Setelah tahu Honey di kandang, ia meluncur pulang dengan diantar
kendaraan Tipol.