Petaka Di Balik Pelangi
By
: Tanti Amelia
Awan
hitam berselaput abu-abu perak itu datang. Uff! Untung saja aku melihatnya
sebelum rinai gerimis pertama menjejak tanah. Aku tak boleh terlambat. Sekarang
atau.. lima puluh tahun lagi! Aku berlari ke gudang penyimpanan gandum di atas
kandang Si Belang, sapi Nenek. Kuturunkan guci cokelat milik Nenek
Griselda dengan susah payah, lalu
membawanya mendaki tanjakan bukit Meadows Mist.
“Jovankaa!”
Sebuah teriakan bernada serak dan berat terdengar dari kaki bukit.
“Hooss..hosss… iyaaa..hh..!”
Balasku. Jonah, anak petani yang tinggal di dekat rumahku. Aku lupa, sore ini
kami berjanji akan bertemu di Singsong Wood, memetik bunga adenium ungu, kesukaanku. Kutaruh guci dan berlari hingga melihat tubuhnya
terlihat jauh di bawahku.
“Jonah!
Tunggu aku usai hujan ini, ya?” Kutunjuk lumbung beratap merah. Kuberi isyarat
agar ia menungguku di sana. Ia mengacungkan jempol sambil menyeringai.
Craak!
Petir menyambar pohon hickory wattle. Itu dia! Aku menghampiri pohon
tersebut lalu menaruh guci cokelat Nenek di bawahnya. Aku menunggu di bawah
pohon cherry. Tak lama, dewa langit menumpahkan
bejana raksasanya hingga air meruah. Bunga-bunga putri malu menguncup seolah
tak kuasa menahan tikaman air yang runcing.
Yup. Aku tinggal bersama Ibu dan Nenek
di desa Hawthorne sejak setahun belakangan ini. Ibu dan Ayah memutuskan bahwa
mereka “sudah tak bisa membahas apapun bersama lagi”. Iiish..rolling eyes.
Aku
sedang membersihkan gudang untuk kamarku, ketika sepucuk surat bersampul ungu yang
antik terjatuh dari atas lemari tua. Bunyinya begini:
Tepat ketika awan hitam gelap dengan semburat abu-abu perak timbul
Sekali dalam lima puluh tahun di musim gugur
Guci cokelat bergambar keping emas
Pohon pertama yang terkena sambaran cahaya langit
Usai hujan petang, tunggulah sejenak
Ambil seperlunya, tak usah semua
Karena keserakahan berujung pada petaka
Violetta Brownlightning
1831
Violetta
Brownlightning adalah nenek dari Nenek Griselda. Butuh waktu agak lama mengartikan
surat berbentuk puisi itu. Aku menduga –dan berharap, tentu- ada sesuatu yang
berhubungan dengan legenda leprechaun
-peri kerdil pembawa emas di ujung pelangi- ha ha.. masak aku percaya hal
seperti itu? Tapi, seandainya benar, bagaimana?
“Nek, guci
cokelat di atas kandang Si Belang itu untukku ya?” tanyaku pada Nenek yang
sedang mengaduk adonan telur. Gerakan tangannya terhenti sejenak.
“Yah,
guci itu sudah tua dan retak, kan?” Jawab Nenek. Dari samping kulihat sudut
bibirnya terangkat ke atas. Tersenyum tipis.
“Oh? Aku
ingin mengisinya dengan jerami untuk si Pussy berbaring. Oya, Nek. Musim gugur
ini, sudah musim gugur ke berapa, yah sejak musim salju terpanjang di desa
Hawthorne?” Aku mengejarnya dengan pertanyaan, sambil menuang segelas susu
dingin.
“Hmm, kalau
tak salah, musim gugur ke tujuh. Kenapa kau tanyakan, Jovanka?” Mata kelabu
Nenek menatapku. Sorot matanya menyelidiki.
“Nggak,
Nek. Jovan ingin bermain seluncur es dengan Jonah. Boleh ya, Nek?” Dustaku
manis.
“Boleh, Nenek
masih menyimpan kereta luncur Kakek di gudang bawah tanah. Nanti dibersihkan
saja.”
Cup! Aku
mencium pipinya. “Terimakasih, Nek!” Aku berlari ke luar. Belum sampai di
pintu, Nenek memanggilku. “Jovanka!” Aku berhenti dan berbalik.
“Ya, Nek ?”
Nenek
mengangkat alisnya sebelah. “Jangan mengambil yang bukan hakmu, oke?” Wah, apakah beliau tahu?
“Iya Nek,
nggak akan.”
Aku kan tidak mengambil yang bukan hakku, aku
hanya ingin tahu. Dan itu perbedaan yang besar, bukan?
Beberapa
hari kemudian, aku melihat awan hitam mulai mendominasi langit. Aku
memperhatikan ciri-ciri awan seperti yang ditulis Nenek Violetta. Aku hampir
saja menyerah, ketika sore ini awan hitam bergerumbul dengan semburat abu-abu
perak melintas. Itu dia!
Nah.
Disinilah aku sekarang. Duduk bersedekap kaki di bawah pohon cherry. Bajuku basah kuyup. Aku
menggigil, tapi rasa penasaran mengatasi dingin dan takutku.
Sekitar
sepuluh menit, hujan mereda. Aku
mendongak. Bias sinar matahari yang melalui tetesan air membentuk busur
berwarna. Pelangi! Sebagai anak yang suka sekali pelajaran sains, aku tahu pelangi hanyalah sebuah fenomena
optikal. Tidak mungkin aku bisa mencapai ujungnya. Tapi…
Aku
mendekati guci cokelat dengan berdebar. Satu-dua-dan.. emas! Emas dalam bentuk
lempengan koin berserak di sekitar pohon. Legenda leprechaun itu benar! Aku meraup koin emas dengan takjub,
memasukkan ke dalam guci dan kantong celanaku sebanyak-banyaknya. Hingga
terlintas kalimat Nenek Griselda. Jangan
mengambil yang bukan hakmu. Lalu tulisan di surat itu, ambil seperlunya.
Dengan
menyesal, aku tuangkan semua koin emas di dalam guci, dan hanya membawa di
dalam saku celanaku. Tiba-tiba Jonah muncul dari balik pepohonan, diikuti oleh ibu,
ayah dan Paman Ben, tetanggaku. Mereka mengintaiku!
“Jovanka,
kenapa tidak kamu ambil saja semuanya? Hmm, tapi tidak apa, sisanya masih
banyak, bukan?” Ayah Jonah tertawa. Matanya memancarkan sinar licik. Bibi
Honey, ibu Jonah berseru.
“Ayo,
cepat masukkan semuanya! Ayo, cepat!” Mereka tidak menghiraukanku, berlomba
memasukkan koin-koin emas ke dalam karung yang mereka bawa. Aku beringsut pergi
diam-diam. Tak kusangka, Jonah mengikuti. Memegang lenganku. Aku berbalik dan
menatapnya marah.
“Jo, maafkan aku. Ibu yang
bertanya macam-macam tadi. Aku hanya menurut ketika disuruh mengikutimu.”
“Sudahlah,
yang penting jangan terlalu banyak yang diambil, Jonah!” Belum sempat Jonah
menjawab, ketika ..DUAR! Aaargh…Suara petir menggelegar dan terdengar teriakan
yang memilukan. Kami berbalik, dan
melihat tiga sosok manusia menghitam di bawah pohon hickory wattle. Jonah memegang kepalanya, menggeleng keras-keras.
“Ibuuu..!
Ayaah..!”
Kami
berlari menghampiri. Jonah terisak keras. Bau hangus memenuhi rongga hidungku.
Seluruh emas yang tadi sudah hilang! Aku meraba koin emas di saku celanaku.
Masih ada. Entahlah. Apakah jika tadi aku masih sibuk mengisi pundi-pundi dan
guci cokelat, akan bernasib sama seperti itu?
Aku hanya
termangu.
Tidak ada komentar
Posting Komentar
TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)