Mita tak pernah bermimpi bahwa putri semata wayangnya, Zitta ternyata mengidap epilepsy. Saat itu, ia tak henti merutuki nasibnya yang kurang beruntung. Bagaimana tidak, ia sudah berusaha menjaga pola makan saat mengandung, banyak berdoa dan bahkan berhenti bekerja!
Mita menderita kelainan kromosom yang disebut blighted ovum (saat ini biasa disebut
kegagalan kehamilan dini), sehingga embrio berhenti berkembang di awal trimester
kehamilannya dan dokter menyarankan agar ia rehat sejenak dari kesibukannya.
Zitta
mengalami serangan kejang petit mal
atau absence pertamanya
di usia 3 tahun. Mita dan suaminya, Andra melarikan Zitta ke Rumah Sakit
Harapan Bunda. Kejang yang dialami Zitta hanya berlangsung selama kurang dari satu
menit, namun dunia yang ia pijak serasa runtuh saat mendengar vonis dokter.
Pada saat serangan terjadi,
Zitta sedang bermain dengan beberapa anak tetangga, sehingga beredarlah stigma
bahwa mereka harus mengucilkan Zitta karena air liur penderita yang terkena
akan menular kepada anak-anak mereka. Bahkan ada seorang ibu yang menyarankan
agar Zitta dibawa berobat ke ‘orang-orang pintar’.
Sebagai seorang wanita yang
akrab dengan dunia maya, Mita berusaha mencari tahu penyakit apakah yang
diderita putrinya ini. Ia menelusuri setiap tulisan yang ada kaitannya dengan
epilepsy, rajin mengikuti seminar kesehatan dan dari salah satu komunitas yang
ia ikuti -Women’s Script- ternyata ia
mendapat banyak informasi positif.
Epilepsi adalah salah satu
penyakit neurologis menahun yang diakibatkan adanya aktifitas listrik abnormal
di otak. Gangguan listrik di otak tersebut dapat disebabkan antara lain oleh
kerusakan jaringan misalnya cedera kepala, tumor otak, atau akibat gejala sisa
dari suatu penyakit seperti infeksi otak, gangguan peredaran darah otak
(stroke), cacat lahir, kelainan genetic. Sekitar 30% tidak diketahui
penyebabnya.
Pada suatu serangan epilepsi,
terjadi suatu aktifitas listrik abnormal di otak kita, dengan bentuk
manifestasi berupa serangan-serangan kejang atau bentuk lain seperti perubahan tingkah laku,
perubahan kesadaran dan perubahan-perubahan lain yang hilang timbul, baik yang
terasa atau terlihat¹
Tak
kalah pentingnya adalah cara menghadapi ODE (Orang Dengan Epilepsi). Dari
bercakap-cakap dengan seorang ayah yang anaknya juga ODE, sebagai muslim, ia
menyitir Al Quran At-Taubah ayat 56 :
"Sekali-kali tidak menimpakan kepada kami melainkan apa yang ditetapkan
Allah. Dialah pelindung kami."
Kesabaran
yang tinggi dibutuhkan, protektif dan waspada saat Zitta menunjukkan aura atau
gejala akan terjadinya tonic phase
atau clonic phase, karena serangan
kejang bisa terjadi kapan saja. Dikhawatirkan jika saat kejang dan terjatuh,
kepala penderita terbentur benda keras. Mita juga tidak mengindahkan mitos
untuk memberi beberapa teguk kopi di pagi hari, karena dari literatur yang ia
baca, kopi, teh dan coklat menjadi pemicu serangan.
Minimnya
informasi membuat Zitta menjalani therapy
syaraf selama 3 tahun berturut-turut. Selama therapy dengan dokter syaraf, setiap hari ia mengkonsumsi obat
dengan jenis yang berbeda, yang harus diminum tiga kali sehari. Tapi semakin
lama, Mita menyadari bahwa pengobatan ini tidak tepat. Ia melihat efek
sampingnya pada Zitta yang banyak melamun, sering mengeluh pusing dan motorik
kasarnya tidak terkontrol. Disebut petit mal
atau gejala dini ODE.
Suatu
hari saat sedang menunggu di ruang dokter, Mita membaca sebuah majalah yang memuat
artikel epilepsy dalam bahasa Inggris. Majalah itu memberi informasi tentang aura
dan tanda-tandanya. Intensnya hubungan Mita dan Zitta putrinya membuat Mita
tersadar bahwa apa yang ditulis itu seperti kondisi yang sering Mitta alami.
Setiap
kali kejang, Zitta seolah sedang berada dalam kondisi trance atau bermimpi, dan sensitif terhadap suara dan cahaya,
kadang ia jatuh pingsan selama beberapa menit. Jika tidak diobati, petit mal akan berkembang menjadi grand mal, ditandai dengan frekuensi kejang yang semakin sering. ODE grand mal akan mudah marah, sedih dan
tak jarang mengamuk. Hal ini membuat ODE dicap sebagai ‘orang gila’.
Ia tak langsung menghentikan pengobatan, namun mulai mengurangi
dosis obat-obatan Zitta, dan mencatat tanda-tanda terjadinya aura, yang tanpa
disadari ia menerapkan self control
management pada Zitta. Mita juga menerapkan diet food combining, mengatur menu makanan dengan kombinasi yang
serasi agar system pencernaan tubuh bekerja secara optimal. ² Mereka juga menghindari beberapa jenis makanan yang dianggap
menjadi pencetus kejang seperti pisang, cokelat, keju dan makanan yang
mengandung MSG.
Setelah setahun observasi dan menerapkannya serta
menghentikan semua pengobatan oral, selama beberapa tahun Zitta sukses tidak
lagi mengalami kejang mendadak, hingga di usia ke 15 tahun, Zitta terserang
kejang lagi setelah menjalani ujian akhir kelulusannya, untunglah hal itu
terjadi di rumah, sehingga Mita dapat langsung menyelidiki pemicu serangan.
Jika
aura Zitta muncul (ditandai dengan pusing kepala hebat, mengantuk, hilang
fokus, dan keram perut), biasanya aktivitas apapun yang ia kerjakan langsung
dihentikan. Setelah itu ia akan langsung tidur 1-2 jam di ruangan yang lampunya
dimatikan. Aktifitas Zitta yang cukup padat
tidak terlalu mengganggu, namun ternyata ia tidak suka dengan mata pelajaran
matematika, sehingga kadar stress yang tinggi memicu terjadinya serangan.
Setelah mengetahui sumber pemicu, Zitta
‘berdamai’ dengan kondisi fisiknya. Hal ini berlangsung hingga Zitta lulus dari
kuliahnya di Sastra Jepang dan bekerja di salah satu perusahaan. Pada saat
itulah, Zitta menjalani medical check up
sebagai prasyarat sebelum ia berangkat tugas selama satu tahun di Jepang.
Zitta menerangkan kondisi kesehatannya, dan oleh dokter
dirujuk ke neurologist untuk menjalani serangkaian tes untuk memastikan apakah
ia masih menderita epilepsy atau tidak. Beberapa tes tersebut antara lain MRI (Magnetic
Resonance Imaging), EEG
(Electroencephalograph)
untuk mencari gelombang tertentu yang menunjukkan adanya gangguan sel saraf,
misalnya gelombang kejang atau gelombang lambat. Stimulus diberikan untuk membangkitkan kejang penderita ODE
dan juga whole blood test (periksa
darah komplit).
Hasil
yang diberikan oleh pihak rumah sakit, membuat Mita yang menerima hasil tesnya
satu bulan kemudian terperanjat. Zitta dinyatakan tidak menderita epilepsy!
Mita yang masih tak percaya, berupaya menghubungi pihak rumah sakit, karena
takut ada prosedur yang terlewatkan. Namun diyakinkan bahwa itu memang hasil
tes Zitta.
Sujud
syukur mereka panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena keyakinan bahwa tidak ada
yang tak mungkin jika Allah SWT sudah berkehendak, asal kita tak putus asa
dalam bersenandung harap dan berusaha, berfikir positif dan tak menyerah dengan
diagnose Epilepsy.
Peristiwa
ini membuat Zitta dan Mita berniat untuk juga membantu penderita epilepsy
lainnya, dan mematahkan mitos serta stigma masyarakat selama ini. Zitta juga
berpesan bahwa :
“ I'm the luckiest person in the world because I know that
Allah always beside me. Keep up the good spirit, dear all ODE !”
(Based on true story)
MARI
HILANGKAN STIGMA NEGATIF EPILEPSI. Epilepsi bukan kutukan, epilepsi tidak
menular, dan epilepsi bisa dikontrol.
Epilepsi adalah hal
yang serius dan perlu mendapat perhatian, 1.800.000 orang di Indonesia hidup
dengan Epilepsi.
² Andang
W. Gunawan,
N.D., nutrition therapist .
Tidak ada komentar
Posting Komentar
TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)