Awalnya, definisi ini hanya mencakup kumpulan puisi (termasuk syair dan pantun) yang dicetak dalam satu volume. Namun, antologi juga dapat berarti kumpulan karya sastra lain seperti cerita pendek, novel pendek, prosa, dan lain-lain. Dalam pengertian modern, kumpulan karya musik oleh seorang artis, kumpulan cerita yang ditayangkan dalam radio dan televisi juga tergolong antologi.
Saat ini, proyek antologi bertebaran dengan tema beragam dan
unik, sebut saja : proyek antologi novel, parenting, cerita anak, traveling, kuliner, dan lain-lain.
MENGAPA SEKARANG BANYAK BEREDAR BUKU ANTOLOGI?
Satu, euforia!
Dengan menjamurnya sosmed, maka banyak orang ingin tampil eksis. Untuk orang yang baru menginjakkan kaki di dunia kepenulisan buku, proyek
buku antologi ini bisa dijadikan sarana untuk melatih keterampilan
menulis. Menjadi ajang pembuktian jati diri. Owkay.. gue penulis. Titik.
Banyak 'penulis' berkarya secara keroyokan
sebelum benar-benar menulis buku sendiri. Rasanya tentu saja menyenangkan bisa memiliki sebuah buku antologi. Hal ini menambah
kepercayaan diri mereka untuk menulis. Tidak jarang mereka membeli buku
antologi tersebut dalam jumlah banyak lalu membagi-bagikannya kepada
sahabat, keluarga, dan handai tolan secara gratis!
Dua, it's more a piece of cake
Sebagai pemula, membuat sebuah buku itu ibarat naik gunung Mahameru padahal napasnya 'ji sam soe'. Hyaa eyalaah.. cobain sana, gih..
Nah, untuk pemula, menulis 5 hingga 10 halaman (atau maksimal 12 halaman seperti proyek antologi saya kemaren) terus bisa jadi buku tentu saja menarik!
Tiga, portofolio
Sebagai portofolio atau contoh hasil karya kita, sehingga jika satu saat ada yang menanyakan, kita bisa menampilkannya. Walau bagaimana, buku yang terbit di penerbit minor atau mayor sekalipun, telah melalui serangkaian proses editing dan tahapan menulis, bukan?
So, gak ada salahnya dengan naskah antologi. Asalkan harus kita ingat dan patuhi pakem kepenulisan yang ada. Jangan sampai menelurkan sebuah naskah prematur! Create your script as your baby!
Untuk menulis naskah antologi, ada beberapa aturan baku yang harus dipatuhi. Nah, berikut beberapa aturan tersebut :
KESESUAIAN TEMA
Penting banget! Jika kita ingin menjadi salah satu penulisnya, pilihlah satu tema yang kita sukai. Jangan sampai kamu gak suka menulis puisi tapi teteeup maksa menuliskannya.. Well, bisa aja sih.. tapi ya itu tadi, nanti naskahmu prematur!
TELITI DALAM MEMBACA TATA TERTIB
Ada kasus dimana salah satu penulis dalam antologi, tak membaca dengan cermat poin persyaratan khusus yang diminta. Semua penulis telah mengumpulkan hasil karya sesuai dengan tenggat waktu yang diminta, namun akhirnya jadi delay atau tertunda, karena harus mengubah salah satu naskah!
SIAPA PENYELENGGARANYA?
Oya, siapa penyelenggara proyek antologi tersebut juga perlu diperhatikan. Soalnya ada juga proyek antologi yang akhirnya jadi rancu dan malah “tidak jelas” hendak
diterbitkan di mana. Ujung-ujungnya.. buku anda ya tidak akan pernah terbit! Ha ha ha... *pengalaman pribadi, ini mah..
DEADLINE
Kalau bisa, usahakan tidak mengirim tulisan kita mepet deadline, soalnya bisa jadi kalau semua mengirimkan sudah mepet deadline, PJ (penanggung jawab) alam kewalahan, sehingga jika ada yang tidak sesuai persyaratan.. yaa.. disingkirkan!
Lagipula, bisa saja pas deadline tau-tau mati lampu, hujan deras, koneksi lambat, pulsa habis, kuota habis, dan lain-lain!
KELENGKAPAN NASKAH
Ini sih persyaratan standar, namun secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
1. Naskah biasanya ditulis dengan font Times
New Roman 12, spasi 1,5, ukuran kertas A4,
margin 2 atau 3 atau 5.
2. Cantumkan Nama Lengkap atau Nama Pena
Tuliskan nama di bawah Judul Naskah.
3. Isi Naskah
Hindari pemakaian kata-kata yang menyinggung
SARA (suku-agama-ras),
mengandung pornografi, bahasa kasar, dan bahasa alay.
4. Baca Ulang Naskah dan lakukan SELF EDIT sebelum mengirim naskah. Hal
ini dilakukan untuk menghindari kesalahan penulisan/typo dan EYD.
5. Cantumkan Biodatamu
Biodata
kita sesuai permintaan
6. Mengirim Naskah!
Simpan file dalam
bentuk .doc dan file dikirim melalui email dalam bentuk
lampiran/attachment email dan bukan di badan naskah.
PERHITUNGAN ROYALTI
Last buat not least, jeng jeng jeeeng : royalti!
Biasanya sih, yang mengurus hal ini adalah PJ, karena mereka yang berhubungan dengan penerbit. Begitu pun
penandatanganan kontrak.
Ada beberapa macam jenis pembagian dan perhitungan royalti. Nah, untuk lebih jelasnya, Lygia Pecanduhujan, seorang penulis puluhan buku (antologi dan solo) menguraikan fakta-fakta tentang royalti itu di sini. Cekidot!
1. Naskah dibeli putus oleh panitia
Panitia atau PJ menentukan berapa honor yang akan di dapat oleh
kontributor (mereka yang naskahnya lolos dalam antologi tersebut).
Biasanya jika diberlakukan sistem ini, maka para kontributor akan
langsung dibayar begitu buku selesai dicetak, dan mereka tidak akan
mendapat royalty apapun lagi.
Jumlah fee kontributor bervariasi
tergantung berapa halaman naskah yang diminta, dan berapa jumlah yang
ditawarkan oleh Panitia/PJ. Kelebihan dari sistem beli
putus ini adalah : Jika buku tidak laris di pasaran alias gagal total,
kontributor tidak mengalami kerugian apapun karena naskah mereka sudah
dibayar dimuka.
2. Royalti dari penerbit dibagi rata
Biasanya, royalti berkisar antara 7-13%
tergantung kebijakan di masing-masing penerbit. Ini masih harus dipotong
Pajak Penghasilan dahulu (30% jika PJ tidak memiliki NPWP dan 15% jika
PJ memiliki NPWP), jika antologi tersebut diterbitkan melalui pihak
ketiga yaitu agensi naskah, royalti masih akan dipotong lagi sebesar 3%
paling banyak dari jumlah royalti yang diterima oleh pemilik naskah. Fee
tersebut digunakan sebagai ongkos editing, layout dan lain sebagainya
sebelum dikirimkan kepada penerbit.
Baru setelah seluruh biaya diperhitungkan, keuntungan bersih dari royalty itu akan dibagi rata antara PJ dengan kontributor yang lain.
3. Seluruh royalti yang didapat disumbangkan untuk kegiatan atau badan/lembaga tertentu.
Tak jarang, penyelenggara sebuah proyek antologi tidak memberikan apapun
kepada para kontributornya karena disepakati bahwa seluruh royalti yang
didapat kelak, akan disumbangkan untuk kegiatan amal tertentu, malam
dana, untuk sumbangan kepada badan/lembaga sosial dan lain sebagainya.
4. Pembayaran royalti dikonversi menjadi buku.
Inti dari poin ini sama dengan poin pertama yaitu naskah dibeli putus.
Hanya saja dengan perhitungan efisiensi waktu dan lain sebagainya,
diputuskan bahwa fee yang diterima oleh kontributor akan dikonversi
menjadi buku sejumlah uang yang didapat oleh kontributor.
Misalnya :
Naskah dibeli putus Rp.100.000,- dan harga jual buku adalah Rp.50.000,-
maka kontributor akan mendapat 2 buah buku sebagai konversinya. Hal ini
biasa dipakai untuk memudahkan penyelenggara dalam membagikan hak dari
para kontributor, dan semua tergantung kesepakatan.
Dalam hal royalty ini masih banyak terdapat perdebatan. Yang paling sering terjadi adalah komentar-komentar miring dari banyak orang, misalnya seperti komentar di bawah ini :
1. Bagaimana dengan sistem royalty? Ini dia yang suka bikin ribet. Yang
pasti dan paling sering terjadi, penerbit hanya mau berhubungan dengan
satu orang, sebutlah dia koordinator biar pun pengisi buku ada 20
penulis. Terkadang disepakati untuk menyerahkan royalty ke lembaga
sosial tertentu. Terkadang juga ada yang jadi makelar dan siap membayar
semua penulis secara flat misalnya Rp.100.000 per naskah. Ada juga yang
menjanjikan pembagian 2 buku setelah terbit.
2. Yang pasti, bila Anda bergabung dalam proyek penulisan buku antologi
yakinkan bahwa Anda tidak sedang diperalat seseorang. Anda capek
menulis, orang lain yang menangguk royalty! Bayangkan saja, jika buku
antologi itu dicetak sebanyak 3000 eksemplar dan dijual dengan harga 50
ribu, maka jumlah royalty yang akan diterima oleh PJ adalah : 3000 x
5000 = 15 juta ! bayangkan, panitia enak-enakan mendapat 15 juta bersih
masuk kantong mereka, sementara para kontributor hanya mendapat 100 rb
saja !
3. Jangan mau menulis antologi Cuma dibayar buku !
Duh, enaknya panitia/PJ/penyelenggara kalau memang fakta yang
terjadi adalah seperti yang ada di poin kedua di atas. Kaya mendadak !
Tapi mari kita menarik nafas dan mau memperhatikan hal-hal kecil yang mungkin terlewatkan oleh kita saat berpendapat demikian :
Kasus :
sebuah buku antologi diterbitkan oleh 1 orang PJ dan 40 orang Kontributor,
dicetak sebanyak 3.000 eksemplar dan dijual dengan bandrol
Rp.50.000,-/eksemplar. Dua kemungkinan sistem pembagian royalty :
1. Naskah dibeli putus dan seluruh royalty dikuasai oleh PJ/Panitia/penyelenggara
terkesan poin ini merugikan kontributor dan menguntungkan pihak PJ tentu saja.
Faktanya :
Saat naskah dibeli putus (dengan modal dari penyelenggara/PJ dan bukan
makelar seperti pendapat miring di atas), ketika buku tidak laku di
pasaran, siapa yang akan rugi ? kontributorkah ? tidak ! karena yang
akan merugi adalah si penyelenggara alias PJ tadi.
Mari kita hitung :
Biaya yang harus dikeluarkan dimuka oleh PJ adalah 40 org kontributor @ Rp.100.000,-
(misalnya) = Rp. 4.000.000,-
Ternyata, buku yang laku di pasaran hanya 500 eksemplar saja, itu artinya royalti yang didapat oleh PJ adalah 500 eksemplar x (10%) Rp.50.000,- =
Rp.2.500,000,-. Itu belum dipotong pajak dan biaya-biaya lain. Artinya
PJ merugi, tapi kontributor tidak rugi apapun karena naskahnya tetap
masuk dan fee nya dibayar dimuka, laris ataupun tidak buku tersebut di
pasaran.
2. Seluruh royalty dibagi rata antara PJ dan kontributor
ini baru perhitungan yang adil dan bijaksana bagi kepentingan orang banyak. Masa ?
Faktanya :
Mari kita hitung : 3.000 eksemplar (diasumsikan seluruhnya habis terjual)
Maka jumlah royalty yang diterima adalah :
3000 eksmplar x (10%) Rp.50.000,- = Rp. 15.000.000,-
Pajak penghasilan : Tanpa NPWP : 30% x Rp. 15.000.000,- = Rp.4.500.000
Dengan NPWP : 15% x Rp.15.000.000,- = Rp.2.250.000
Taruhlah kita ambil yang dengan NPWP, maka royalty yang diterima PJ adalah :
Rp.15.000.000 – Rp.2.250.000 = Rp.12.750.000
Royalty sebesar Rp. 12.750.000 dibagi rata 41 orang (1 PJ dan 40 Kontributor) maka
masing-masing akan mendapat royalty sebesar kurang lebih Rp. 310.000,-
Kelihatannya jauh lebih besar ya daripada naskah dijual putus ?
Tapi sadarkah kita :
1. Royalti tidak dibayarkan sekaligus, melainkan 2x setahun (atau bahkan setahun sekali) tergantung kebijakan penerbit .
Jika buku itu laku terus dan habis
seluruhnya dalam waktu 2 tahun saja, maka royalty yang dibagikan tiap
kali adalah 310.000 : 4x = 77.500. kebayang gak PJ, tiap kali pembagian
royalty, harus pusing mentransfer uang sejumlah itu kepada 40 nomor
rekening yang berbeda-beda ? Berapa kali antri ? Belum lagi kalau
Banknya beda-beda. Siapa yang akan menanggung biaya transportasi dari
rumah ke ATM 1, Bank A, Bank C dll ?
2. Siapapun penyelenggara/PJ dari proyek antologi
tersebut, mereka berhak mendapatkan fee yang lebih besar daripada para
kontributor, dengan alasan :
a. PJ yang mempunyai ide dan tema dari buku antologi tersebut.
b. PJ yang bekerja keras mulai dari menyusun outline, menyusun
pengumuman audisi antologi, membuat email baru untuk keperluan antologi,
menyebarkan informasi, berhubungan bolak balik dengan pihak penerbit
(termasuk negosiasi dan lain sebagainya).
Mengecek bolak balik email
yang masuk, memeriksa seluruh kelengkapan naskah, membaca SATU PERSATU
naskah yang masuk (biasanya sampai ratusan naskah!) untuk kemudian PJ
harus MEMILIH naskah-naskah terbaik yang berhak lolos audisi,
mengumumkan, mengedit naskah sebelum diserahkan kepada penerbit, bolak balik merevisi atas permintaan penerbit, dan ketika buku
terbit, ia juga memiliki tanggung jawab untuk membantu promosi dan
launching (kalau ada).
Sementara tugas kontributor hanyalah : membaca
pengumuman, menuliskan kisahnya, mengirim naskah dengan melengkapi
syarat-syaratnya, merevisi tulisan (kalau ada) dan menunggu pengumuman
lolos/tidaknya. Pfyuuuh, beda jauh ya tugasnya ? jadi salahkah saya
kalau saya berpendapat bahwa PJ yang sudah bekerja sangat keras demi
terwujudnya antologi tersebut berhak mendapatkan lebih daripada kontributor ? (dengan catatan : kalau buku laku di pasaran).
3. Satu pertanyaan terakhir : Kalau buku tidak laku dipasaran, dan PJ
tidak mendapat apa-apa, apakah para kontributor tidak merasa rugi karena
naskahnya juga tidak mendapat apa2 ? (jangankan dapat royalty, dapat
buku gratisnya aja nggak).
So, bagaimanapun perhitungan royalty yang diberlakukan oleh para penyelenggara/PJ dari proyek antologi tersebut, tentu sudah melalui perhitungan yang
matang. Karenanya, pilihan tinggal jatuh dan ada di tangan para calon
kontributor. Apakah mau ikut atau tidak ?
Ups, panjang lebar membahas ROYALTI, ada satu yang ketinggalan nih yaitu :
PROMOSI
This is the last but not least. Siapakah yang bertanggung jawab untuk melakukan promosi setelah buku diterbitkan ? Pihak Penerbit ? Penyelenggara ?
Jawabnya :
SEMUA PIHAK, baik itu penerbit, penyelenggara maupun para kontributor.
“Ah, tapi kan naskah kita Cuma dibeli putus, ngapain kita ikutan promosi. Toh laku atau ngga laku buku itu, kita tetap dibayar kan?”
He he he, ini pendapat yang totally wrong alias salah total!
Kita
mempromosikan buku kita (baik buku solo ataupun buku antologi) tentunya
bukan sekedar ingin supaya buku itu laris kan ? Well, iya dong, laris
juga penting. Tapi yang tak kalah penting adalah supaya nama kita
dikenal orang atau penerbit meskipun baru sebatas sebagai kontributor.
Betul tidak?
(sebagai catatan : saya memang mulai
menulis buku dari antologi. Tapi karena antologi-antologi itu termasuk
unik di pasaran dan saya rajin promo habis-habisan, akhirnya pintu untuk
buku solo terbuka lebar untuk saya karena pihak penerbit sudah lebih
dahulu mengenal nama saya dari buku-buku antologi
tersebut).
Kalau kita ikutan antologi Cuma karena pengen ikut-ikutan saja, kemudian
cuek ketika buku itu terbit, bagaimana orang bisa tahu bahwa dalam buku
itu ada tulisan kita ? Perlu ditambahkan pula, ketika buku itu laris
manis dipasaran dan menjadi best seller, semua yang tergabung di
dalamnya pasti akan terkena imbasnya kok.
Mau bukti ? Mungkin dari segi materi Cuma PJ yang dapat royaltinya. Tapi dari segi immateriil ?
ILUSTRASI
Teman : “Eh, aku kemarin lihat-lihat buku di Toko Buku. Ada
buku antologi A, kamu ikutan nulis ya ? Gile, keren banget euy, bukunya best seller !”
Kita : *ketawa-tawa gak jelas antara malu sama bangga*
---------------------------------------------------------------------------------------
Teman : “Kamu katanya penulis ? udah nulis buku apa aja ?”
Kita (Jawab alternatif 1) : “Itu lho, ikutan nulis buku antologi yang judulnya A”
Teman : “Haaa, buku apaan tuh ? kok belum pernah denger? Di toko buku
juga gak ada. Gak laku ya bukunya ?”
Kita : “#$%%*#.....*&^&^”
Kita (Jawab alternatif 2) : “Anu.. nnngg, anu.. aku ikutan nulis
buku Antologi itu lho, yang judulnya B. Masa kamu gak tau sih ? itu kan
best seller tauuuu, ada capnya gede-gede di cover : BEST SELLER. Dibaca sama banyak selebritis tanah air, diulas di Koran, masuk Tipi dan majalah. Masih gak tau juga ? Ih, gak gaul deh kamu”
Teman : “Oooh …” *manggut-manggut sambil berusaha keras membayangkan
buku yang dimaksud, tapi dengan tekad dalam hati, besok kudu nyari buku
itu sampe ketemu!*
Saat ini, proyek antologi bertebaran dengan tema beragam dan
unik, sebut saja : proyek antologi novel, parenting, cerita anak, traveling, kuliner, dan lain-lain.
MENGAPA SEKARANG BANYAK BEREDAR BUKU ANTOLOGI?
Satu, euforia!
Dengan menjamurnya sosmed, maka banyak orang ingin tampil eksis. Untuk orang yang baru menginjakkan kaki di dunia kepenulisan buku, proyek
buku antologi ini bisa dijadikan sarana untuk melatih keterampilan
menulis. Menjadi ajang pembuktian jati diri. Owkay.. gue penulis. Titik.
Banyak 'penulis' berkarya secara keroyokan
sebelum benar-benar menulis buku sendiri. Rasanya tentu saja menyenangkan bisa memiliki sebuah buku antologi. Hal ini menambah
kepercayaan diri mereka untuk menulis. Tidak jarang mereka membeli buku
antologi tersebut dalam jumlah banyak lalu membagi-bagikannya kepada
sahabat, keluarga, dan handai tolan secara gratis!
Dua, it's more a piece of cake
Sebagai pemula, membuat sebuah buku itu ibarat naik gunung Mahameru padahal napasnya 'ji sam soe'. Hyaa eyalaah.. cobain sana, gih..
Tiga, portofolio
Sebagai portofolio atau contoh hasil karya kita, sehingga jika satu saat ada yang menanyakan, kita bisa menampilkannya. Walau bagaimana, buku yang terbit di penerbit minor atau mayor sekalipun, telah melalui serangkaian proses editing dan tahapan menulis, bukan?So, gak ada salahnya dengan naskah antologi. Asalkan harus kita ingat dan patuhi pakem kepenulisan yang ada. Jangan sampai menelurkan sebuah naskah prematur! Create your script as your baby!
Untuk menulis naskah antologi, ada beberapa aturan baku yang harus dipatuhi. Nah, berikut beberapa aturan tersebut :
KESESUAIAN TEMA
Penting banget! Jika kita ingin menjadi salah satu penulisnya, pilihlah satu tema yang kita sukai. Jangan sampai kamu gak suka menulis puisi tapi teteeup maksa menuliskannya.. Well, bisa aja sih.. tapi ya itu tadi, nanti naskahmu prematur!
TELITI DALAM MEMBACA TATA TERTIB
Ada kasus dimana salah satu penulis dalam antologi, tak membaca dengan cermat poin persyaratan khusus yang diminta. Semua penulis telah mengumpulkan hasil karya sesuai dengan tenggat waktu yang diminta, namun akhirnya jadi delay atau tertunda, karena harus mengubah salah satu naskah!
Ada kasus dimana salah satu penulis dalam antologi, tak membaca dengan cermat poin persyaratan khusus yang diminta. Semua penulis telah mengumpulkan hasil karya sesuai dengan tenggat waktu yang diminta, namun akhirnya jadi delay atau tertunda, karena harus mengubah salah satu naskah!
SIAPA PENYELENGGARANYA?
Oya, siapa penyelenggara proyek antologi tersebut juga perlu diperhatikan. Soalnya ada juga proyek antologi yang akhirnya jadi rancu dan malah “tidak jelas” hendak
diterbitkan di mana. Ujung-ujungnya.. buku anda ya tidak akan pernah terbit! Ha ha ha... *pengalaman pribadi, ini mah..
DEADLINE
Kalau bisa, usahakan tidak mengirim tulisan kita mepet deadline, soalnya bisa jadi kalau semua mengirimkan sudah mepet deadline, PJ (penanggung jawab) alam kewalahan, sehingga jika ada yang tidak sesuai persyaratan.. yaa.. disingkirkan!
Lagipula, bisa saja pas deadline tau-tau mati lampu, hujan deras, koneksi lambat, pulsa habis, kuota habis, dan lain-lain!
KELENGKAPAN NASKAH
Ini sih persyaratan standar, namun secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
1. Naskah biasanya ditulis dengan font Times
New Roman 12, spasi 1,5, ukuran kertas A4,
margin 2 atau 3 atau 5.
New Roman 12, spasi 1,5, ukuran kertas A4,
margin 2 atau 3 atau 5.
2. Cantumkan Nama Lengkap atau Nama Pena
Tuliskan nama di bawah Judul Naskah.
3. Isi Naskah
mengandung pornografi, bahasa kasar, dan bahasa alay.
4. Baca Ulang Naskah dan lakukan SELF EDIT sebelum mengirim naskah. Hal
ini dilakukan untuk menghindari kesalahan penulisan/typo dan EYD.
5. Cantumkan Biodatamu
Biodata
kita sesuai permintaan
6. Mengirim Naskah!
Simpan file dalam
bentuk .doc dan file dikirim melalui email dalam bentuk
lampiran/attachment email dan bukan di badan naskah.
lampiran/attachment email dan bukan di badan naskah.
PERHITUNGAN ROYALTI
Last buat not least, jeng jeng jeeeng : royalti!
Biasanya sih, yang mengurus hal ini adalah PJ, karena mereka yang berhubungan dengan penerbit. Begitu pun penandatanganan kontrak.
Biasanya sih, yang mengurus hal ini adalah PJ, karena mereka yang berhubungan dengan penerbit. Begitu pun penandatanganan kontrak.
Ada beberapa macam jenis pembagian dan perhitungan royalti. Nah, untuk lebih jelasnya, Lygia Pecanduhujan, seorang penulis puluhan buku (antologi dan solo) menguraikan fakta-fakta tentang royalti itu di sini. Cekidot!
1. Naskah dibeli putus oleh panitia
Panitia atau PJ menentukan berapa honor yang akan di dapat oleh
kontributor (mereka yang naskahnya lolos dalam antologi tersebut).
Biasanya jika diberlakukan sistem ini, maka para kontributor akan
langsung dibayar begitu buku selesai dicetak, dan mereka tidak akan
mendapat royalty apapun lagi. Jumlah fee kontributor bervariasi tergantung berapa halaman naskah yang diminta, dan berapa jumlah yang ditawarkan oleh Panitia/PJ. Kelebihan dari sistem beli putus ini adalah : Jika buku tidak laris di pasaran alias gagal total, kontributor tidak mengalami kerugian apapun karena naskah mereka sudah dibayar dimuka.
2. Royalti dari penerbit dibagi rata
Biasanya, royalti berkisar antara 7-13%
tergantung kebijakan di masing-masing penerbit. Ini masih harus dipotong
Pajak Penghasilan dahulu (30% jika PJ tidak memiliki NPWP dan 15% jika
PJ memiliki NPWP), jika antologi tersebut diterbitkan melalui pihak
ketiga yaitu agensi naskah, royalti masih akan dipotong lagi sebesar 3%
paling banyak dari jumlah royalti yang diterima oleh pemilik naskah. Fee
tersebut digunakan sebagai ongkos editing, layout dan lain sebagainya
sebelum dikirimkan kepada penerbit.
Baru setelah seluruh biaya diperhitungkan, keuntungan bersih dari royalty itu akan dibagi rata antara PJ dengan kontributor yang lain.
3. Seluruh royalti yang didapat disumbangkan untuk kegiatan atau badan/lembaga tertentu.
Tak jarang, penyelenggara sebuah proyek antologi tidak memberikan apapun
kepada para kontributornya karena disepakati bahwa seluruh royalti yang
didapat kelak, akan disumbangkan untuk kegiatan amal tertentu, malam
dana, untuk sumbangan kepada badan/lembaga sosial dan lain sebagainya.
4. Pembayaran royalti dikonversi menjadi buku.
Inti dari poin ini sama dengan poin pertama yaitu naskah dibeli putus.
Hanya saja dengan perhitungan efisiensi waktu dan lain sebagainya,
diputuskan bahwa fee yang diterima oleh kontributor akan dikonversi
menjadi buku sejumlah uang yang didapat oleh kontributor.
Misalnya :
Naskah dibeli putus Rp.100.000,- dan harga jual buku adalah Rp.50.000,- maka kontributor akan mendapat 2 buah buku sebagai konversinya. Hal ini biasa dipakai untuk memudahkan penyelenggara dalam membagikan hak dari para kontributor, dan semua tergantung kesepakatan.
Misalnya :
Naskah dibeli putus Rp.100.000,- dan harga jual buku adalah Rp.50.000,- maka kontributor akan mendapat 2 buah buku sebagai konversinya. Hal ini biasa dipakai untuk memudahkan penyelenggara dalam membagikan hak dari para kontributor, dan semua tergantung kesepakatan.
Dalam hal royalty ini masih banyak terdapat perdebatan. Yang paling sering terjadi adalah komentar-komentar miring dari banyak orang, misalnya seperti komentar di bawah ini :
1. Bagaimana dengan sistem royalty? Ini dia yang suka bikin ribet. Yang
pasti dan paling sering terjadi, penerbit hanya mau berhubungan dengan
satu orang, sebutlah dia koordinator biar pun pengisi buku ada 20
penulis. Terkadang disepakati untuk menyerahkan royalty ke lembaga
sosial tertentu. Terkadang juga ada yang jadi makelar dan siap membayar
semua penulis secara flat misalnya Rp.100.000 per naskah. Ada juga yang
menjanjikan pembagian 2 buku setelah terbit.
2. Yang pasti, bila Anda bergabung dalam proyek penulisan buku antologi
yakinkan bahwa Anda tidak sedang diperalat seseorang. Anda capek
menulis, orang lain yang menangguk royalty! Bayangkan saja, jika buku
antologi itu dicetak sebanyak 3000 eksemplar dan dijual dengan harga 50
ribu, maka jumlah royalty yang akan diterima oleh PJ adalah : 3000 x
5000 = 15 juta ! bayangkan, panitia enak-enakan mendapat 15 juta bersih
masuk kantong mereka, sementara para kontributor hanya mendapat 100 rb
saja !
3. Jangan mau menulis antologi Cuma dibayar buku !
Duh, enaknya panitia/PJ/penyelenggara kalau memang fakta yang
terjadi adalah seperti yang ada di poin kedua di atas. Kaya mendadak !
Tapi mari kita menarik nafas dan mau memperhatikan hal-hal kecil yang mungkin terlewatkan oleh kita saat berpendapat demikian :
Kasus :
sebuah buku antologi diterbitkan oleh 1 orang PJ dan 40 orang Kontributor,
dicetak sebanyak 3.000 eksemplar dan dijual dengan bandrol
Rp.50.000,-/eksemplar. Dua kemungkinan sistem pembagian royalty :
1. Naskah dibeli putus dan seluruh royalty dikuasai oleh PJ/Panitia/penyelenggara
terkesan poin ini merugikan kontributor dan menguntungkan pihak PJ tentu saja.
Faktanya :
Saat naskah dibeli putus (dengan modal dari penyelenggara/PJ dan bukan
makelar seperti pendapat miring di atas), ketika buku tidak laku di
pasaran, siapa yang akan rugi ? kontributorkah ? tidak ! karena yang
akan merugi adalah si penyelenggara alias PJ tadi.
Mari kita hitung :
Biaya yang harus dikeluarkan dimuka oleh PJ adalah 40 org kontributor @ Rp.100.000,-
(misalnya) = Rp. 4.000.000,-
Ternyata, buku yang laku di pasaran hanya 500 eksemplar saja, itu artinya royalti yang didapat oleh PJ adalah 500 eksemplar x (10%) Rp.50.000,- =
Rp.2.500,000,-. Itu belum dipotong pajak dan biaya-biaya lain. Artinya
PJ merugi, tapi kontributor tidak rugi apapun karena naskahnya tetap
masuk dan fee nya dibayar dimuka, laris ataupun tidak buku tersebut di
pasaran.
2. Seluruh royalty dibagi rata antara PJ dan kontributor
ini baru perhitungan yang adil dan bijaksana bagi kepentingan orang banyak. Masa ?
Faktanya :
Mari kita hitung : 3.000 eksemplar (diasumsikan seluruhnya habis terjual)
Maka jumlah royalty yang diterima adalah :
3000 eksmplar x (10%) Rp.50.000,- = Rp. 15.000.000,-
Pajak penghasilan : Tanpa NPWP : 30% x Rp. 15.000.000,- = Rp.4.500.000
Dengan NPWP : 15% x Rp.15.000.000,- = Rp.2.250.000
Taruhlah kita ambil yang dengan NPWP, maka royalty yang diterima PJ adalah :
Rp.15.000.000 – Rp.2.250.000 = Rp.12.750.000
Royalty sebesar Rp. 12.750.000 dibagi rata 41 orang (1 PJ dan 40 Kontributor) maka
masing-masing akan mendapat royalty sebesar kurang lebih Rp. 310.000,-
Kelihatannya jauh lebih besar ya daripada naskah dijual putus ?
Tapi sadarkah kita :
1. Royalti tidak dibayarkan sekaligus, melainkan 2x setahun (atau bahkan setahun sekali) tergantung kebijakan penerbit .
Jika buku itu laku terus dan habis seluruhnya dalam waktu 2 tahun saja, maka royalty yang dibagikan tiap kali adalah 310.000 : 4x = 77.500. kebayang gak PJ, tiap kali pembagian royalty, harus pusing mentransfer uang sejumlah itu kepada 40 nomor rekening yang berbeda-beda ? Berapa kali antri ? Belum lagi kalau Banknya beda-beda. Siapa yang akan menanggung biaya transportasi dari rumah ke ATM 1, Bank A, Bank C dll ?
Jika buku itu laku terus dan habis seluruhnya dalam waktu 2 tahun saja, maka royalty yang dibagikan tiap kali adalah 310.000 : 4x = 77.500. kebayang gak PJ, tiap kali pembagian royalty, harus pusing mentransfer uang sejumlah itu kepada 40 nomor rekening yang berbeda-beda ? Berapa kali antri ? Belum lagi kalau Banknya beda-beda. Siapa yang akan menanggung biaya transportasi dari rumah ke ATM 1, Bank A, Bank C dll ?
2. Siapapun penyelenggara/PJ dari proyek antologi
tersebut, mereka berhak mendapatkan fee yang lebih besar daripada para
kontributor, dengan alasan :
a. PJ yang mempunyai ide dan tema dari buku antologi tersebut.
b. PJ yang bekerja keras mulai dari menyusun outline, menyusun
pengumuman audisi antologi, membuat email baru untuk keperluan antologi,
menyebarkan informasi, berhubungan bolak balik dengan pihak penerbit
(termasuk negosiasi dan lain sebagainya).
Mengecek bolak balik email yang masuk, memeriksa seluruh kelengkapan naskah, membaca SATU PERSATU naskah yang masuk (biasanya sampai ratusan naskah!) untuk kemudian PJ harus MEMILIH naskah-naskah terbaik yang berhak lolos audisi, mengumumkan, mengedit naskah sebelum diserahkan kepada penerbit, bolak balik merevisi atas permintaan penerbit, dan ketika buku terbit, ia juga memiliki tanggung jawab untuk membantu promosi dan launching (kalau ada).
Sementara tugas kontributor hanyalah : membaca pengumuman, menuliskan kisahnya, mengirim naskah dengan melengkapi syarat-syaratnya, merevisi tulisan (kalau ada) dan menunggu pengumuman lolos/tidaknya. Pfyuuuh, beda jauh ya tugasnya ? jadi salahkah saya kalau saya berpendapat bahwa PJ yang sudah bekerja sangat keras demi terwujudnya antologi tersebut berhak mendapatkan lebih daripada kontributor ? (dengan catatan : kalau buku laku di pasaran).
Mengecek bolak balik email yang masuk, memeriksa seluruh kelengkapan naskah, membaca SATU PERSATU naskah yang masuk (biasanya sampai ratusan naskah!) untuk kemudian PJ harus MEMILIH naskah-naskah terbaik yang berhak lolos audisi, mengumumkan, mengedit naskah sebelum diserahkan kepada penerbit, bolak balik merevisi atas permintaan penerbit, dan ketika buku terbit, ia juga memiliki tanggung jawab untuk membantu promosi dan launching (kalau ada).
Sementara tugas kontributor hanyalah : membaca pengumuman, menuliskan kisahnya, mengirim naskah dengan melengkapi syarat-syaratnya, merevisi tulisan (kalau ada) dan menunggu pengumuman lolos/tidaknya. Pfyuuuh, beda jauh ya tugasnya ? jadi salahkah saya kalau saya berpendapat bahwa PJ yang sudah bekerja sangat keras demi terwujudnya antologi tersebut berhak mendapatkan lebih daripada kontributor ? (dengan catatan : kalau buku laku di pasaran).
3. Satu pertanyaan terakhir : Kalau buku tidak laku dipasaran, dan PJ
tidak mendapat apa-apa, apakah para kontributor tidak merasa rugi karena
naskahnya juga tidak mendapat apa2 ? (jangankan dapat royalty, dapat
buku gratisnya aja nggak).
So, bagaimanapun perhitungan royalty yang diberlakukan oleh para penyelenggara/PJ dari proyek antologi tersebut, tentu sudah melalui perhitungan yang
matang. Karenanya, pilihan tinggal jatuh dan ada di tangan para calon
kontributor. Apakah mau ikut atau tidak ?
Ups, panjang lebar membahas ROYALTI, ada satu yang ketinggalan nih yaitu :
PROMOSI
This is the last but not least. Siapakah yang bertanggung jawab untuk melakukan promosi setelah buku diterbitkan ? Pihak Penerbit ? Penyelenggara ?
Jawabnya :
Jawabnya :
SEMUA PIHAK, baik itu penerbit, penyelenggara maupun para kontributor.
“Ah, tapi kan naskah kita Cuma dibeli putus, ngapain kita ikutan promosi. Toh laku atau ngga laku buku itu, kita tetap dibayar kan?”
He he he, ini pendapat yang totally wrong alias salah total!
Kita mempromosikan buku kita (baik buku solo ataupun buku antologi) tentunya bukan sekedar ingin supaya buku itu laris kan ? Well, iya dong, laris juga penting. Tapi yang tak kalah penting adalah supaya nama kita dikenal orang atau penerbit meskipun baru sebatas sebagai kontributor. Betul tidak?
(sebagai catatan : saya memang mulai menulis buku dari antologi. Tapi karena antologi-antologi itu termasuk unik di pasaran dan saya rajin promo habis-habisan, akhirnya pintu untuk buku solo terbuka lebar untuk saya karena pihak penerbit sudah lebih dahulu mengenal nama saya dari buku-buku antologi
Kita mempromosikan buku kita (baik buku solo ataupun buku antologi) tentunya bukan sekedar ingin supaya buku itu laris kan ? Well, iya dong, laris juga penting. Tapi yang tak kalah penting adalah supaya nama kita dikenal orang atau penerbit meskipun baru sebatas sebagai kontributor. Betul tidak?
(sebagai catatan : saya memang mulai menulis buku dari antologi. Tapi karena antologi-antologi itu termasuk unik di pasaran dan saya rajin promo habis-habisan, akhirnya pintu untuk buku solo terbuka lebar untuk saya karena pihak penerbit sudah lebih dahulu mengenal nama saya dari buku-buku antologi
tersebut).
Kalau kita ikutan antologi Cuma karena pengen ikut-ikutan saja, kemudian
cuek ketika buku itu terbit, bagaimana orang bisa tahu bahwa dalam buku
itu ada tulisan kita ? Perlu ditambahkan pula, ketika buku itu laris
manis dipasaran dan menjadi best seller, semua yang tergabung di
dalamnya pasti akan terkena imbasnya kok.
Mau bukti ? Mungkin dari segi materi Cuma PJ yang dapat royaltinya. Tapi dari segi immateriil ?
ILUSTRASI
Teman : “Eh, aku kemarin lihat-lihat buku di Toko Buku. Ada
buku antologi A, kamu ikutan nulis ya ? Gile, keren banget euy, bukunya best seller !”
Kita : *ketawa-tawa gak jelas antara malu sama bangga*
---------------------------------------------------------------------------------------
Teman : “Kamu katanya penulis ? udah nulis buku apa aja ?”
Kita (Jawab alternatif 1) : “Itu lho, ikutan nulis buku antologi yang judulnya A”
Teman : “Haaa, buku apaan tuh ? kok belum pernah denger? Di toko buku
juga gak ada. Gak laku ya bukunya ?”
juga gak ada. Gak laku ya bukunya ?”
Kita : “#$%%*#.....*&^&^”
Kita (Jawab alternatif 2) : “Anu.. nnngg, anu.. aku ikutan nulis
buku Antologi itu lho, yang judulnya B. Masa kamu gak tau sih ? itu kan
best seller tauuuu, ada capnya gede-gede di cover : BEST SELLER. Dibaca sama banyak selebritis tanah air, diulas di Koran, masuk Tipi dan majalah. Masih gak tau juga ? Ih, gak gaul deh kamu”
Teman : “Oooh …” *manggut-manggut sambil berusaha keras membayangkan
buku yang dimaksud, tapi dengan tekad dalam hati, besok kudu nyari buku
itu sampe ketemu!*
Saya suka banget artikel "Self Help" atau How To seperti ini
BalasHapusSangat bermanfaat.
Saya menerbitkan buku lebih fokus ke berbagi ilmu yang bernilai ibadah, walaupun materi juga perlu.Makanya begitu ingin nerbitkan buku ya nulis saja mumpung menerbitkan buku mudah.
Ijin copy untuk pedoman ya Jeng
Matur nuwun
Salam hangat dari Surabaya
Monggo Pakdhe,
BalasHapusterimakasih kunjungannyaaa
jadi teringat buku perdanaku yang juga antologi heheh... semoga lancar prosesnya sampe cetak dan laris manis ya mbak ;)
BalasHapusya nih, mom Nadia...
Hapusamiien yra yaaa
siip... tulisan yg menyemangati, mbak Tanti .. semoga antology kita kelak sukses yaa... aamiin.. :)
BalasHapusDuuh,, yang patut diacungi jempol itu.. momtraveller cantik alias.. mak Muna!!!
BalasHapusini bagus sekali artikelnya. bermanfaat untuk teman-teman dan saya yang ingin ikutan terbit buku antologi :)
BalasHapushaha.. makasiiih miss Rochmaaa
Hapuskeren mak, jadi belajar nih...saya juga baru akan nerbitkan buku antologi bareng pakde Cholik dkk. pengalaman pertama, royaltinya akan disumbangkan untuk amal (kesepakatan sebagian kontributor) tapi belum dpt keputusan final. terimakasih mak
BalasHapusnah looo... yang mana niiih, jangan-jangan kita sebuku yah *toss dulu aaah*
Hapushehehe, senyum2 di beberapa bagian, terutama bagian terakhir. Tapi thanks for sharing ya, Mbak. Jadi tambah tahu soal penulisan buku antologi.
BalasHapuswih strategi pemasarannya mantab banget kak,,, itu bisa di sebut cukup handal lo :D
BalasHapus