Saya tahu nama beliau, but obviously, beliau bahkan tidak mengenal saya! Jadi, bagaimana mungkin, saya bisa menyebut diri saya sebagai Sahabat Jero Wacik?
Pemberitaan yang sedang hip saat ini adalah ketika ada sepucuk email yang dilayangkan salah seorang sahabat blogger. Nah, kalau ini saya bisa mengatakan "sahabat", karena saya kenal pribadi dengannya.
Tadinya, terus terang saja saya tak peduli.
Bukan, bukan karena tak kenal atau lokasi bertemu -di sebuah tempat yang jauh dari ingar bingar atau gemerlapan, selayaknya kami biasa dijamu- namun lokasi tersebut di sebuah rumah tahanan. Cipinang, tepatnya.
Saya tak bisa hadir karena saat itu bertepatan dengan satu acara yang juga penting, bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional. Kami semua, blogger, harus mensosialisasikan Gema Cermat, Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat.
Usai acara, seperti biasa tak ada kejadian apa-apa. Hingga merebak dari mulut ke mulut, bahwa ..
"Psst.. kok, mau sih, dia menulis tentang Jero Wacik?"
"Emang, kamu tidak tahu bahwa dia itu koruptor?"
"Ish... dia itu, ya memakai uang negara untuk nonton konser, untuk pijat dua juta seminggu, bla.. bla.. blah.."
Sampai di situ, saya mengiyakan. Saya tak berniat menulis. Titik.
Hingga siang ini.
DI MANA HATI NURANIMU?
Sebuah grup what's app berisi sahabat-sahabat blogger berkasak-kusuk tentang nilai pemberitaan beliau. Bahwa menulis tentang seorang koruptor adalah sebuah imaji negatif. Bahwa si A, si B dan si C jelas-jelas mendiskreditkan teman-teman blogger yang sudah berkunjung ke rutan.
Tak kalah seru, di grup lainnya.
"Kalau kamu mau ngetop, mbake.. ga usahlah menulis yang bukan-bukan. Ntar juga ngetop sendiri."
What? Ngetop?
Tujuh turunan lapan belokan sembilan tanjakan.. ck ck.. saya gak merasa perlu untuk ngetop, loh. Saya ini ibu rumah tangga, blogger apalah apalah yang cinta damai. Peace.
Sampai di situ, saya masih bersikap biasa saja, hingga ada diskusi personal lain. Yang mempertanyakan, "Di mana hati nuranimu?"
Silakan perjuangkan hati nuranimu!
Aku memang bukan sahabat Jero Wacik. Aku tidak merasa perlu meluruskan pemberitaan tentang beliau. La wong aku juga tidak tahu kasusnya apa. Tapi, sampai di situ, aku terhenyak.
Bicara tentang hati nurani, ibarat seperti kalau kamu menyelam dalam lautan kotoran manusia milikmu sendiri, kata Freud. Bayangkan!
Pernah ingat kasus Bank Duta di pengujung tahun 1980?
Kasus ini menyeret sebuah nama Direktur Bank Duta, Dicky Iskandar Dinata. Ayah sutradara Nia Dinata, dan Otto Iskandar Dinata, yang terakhir ini adalah sahabat adikku, Tommy.
Jika kita kilas balik,
maka kita tahu, bahwa sebenarnya ada nama-nama lain terlibat di dalamnya. Nama-nama yang tidak tersentuh hukum. Dan, korbannya tentu saja almarhum Dicky Iskandar Dinata.
Saat itu, tidak ada satu pun pemberitaan berimbang tentang Dicky. Semua media ramai-ramai menulis "kesalahan" Dicky. Semua sisi buruk dikeluarkan. Diodol-odol. Tidak ada yang menulis dari sudut pandang Dicky. Dan, pada saat itu, saya ragu ada yang berani menulis dari sisi yang lain!
Semua media tidak peduli dengan keluarga Dicky, tidak peduli dengan perasaan anak-anaknya. Syukurlah, keluarga Dicky baik-baik saja. Cucu-cucu pahlawan ini tetap tegar. Otto tetap masih sekolah, wajahnya tetap tenang. Bahkan, ia masih diandalkan teman-temannya di sekolah kalau sedang ada tawuran, misalnya. Teh Nia malah makin berkibar. Ia malang melintang di dunia perfilman.
Mereka berdua seperti mengabarkan, bahwa berita-berita miring tentang ayah mereka tidak benar. Susah payahkah mereka bangkit? Tentu saja.
The Freedom of Speak
Sekilas tentang kasus Jero Wacik.
Bukan.. bukan kasus korupsinya. Kalau itu, biarkan Hakim dan Pengadilan Tinggi Negeri yang menilai. Bukan kapasitas saya menulis tentang itu semua. Apalagi, masalahnya dengan uang rakyat.. hiiy..
Itu, loh.. kasus tentang Bapak Jero Wacik memutuskan untuk mengundang blogger bertemu muka dengan beliau di Cipinang, lantas banyak pro-kontra hingga acara 'kabur-kaburan' ketika menghindar dari komitmen.
Ketika saya memutuskan untuk menjadi penulis, blogger, citizen journalist,
saya tahu satu saat pasti akan tergugah juga menulis pemberitaan. Di balik segudang product review yang saya tulis, event dan launching product, satu saat kan saya p.a.s.t.i melihat sesuatu yang bikin saya gatal-gatal hendak ditumpahkan ke blog saya ini.
Memang sih, saya saring-saring juga. Saya berusaha menjadi blogger yang minimal- santun dan tidak SARA. Saya juga menolak tawaran menulis produk rokok, miras dan aneka jenis produk ajaib yang bisa membuat besar kecil seketika.
Tapi, ketika ada satu peristiwa yang saya ingin menulis, lalu dihalang-halangi... saya malah jadi penasaran. Ahaha! Ada apa ini?
a. Ada yang 'takut' karena saya menulis?
Pasti dibantah. Diinjek, ditoyor rame-rame. Ya enggalah.. siapa sih, Tanti Amelia sampai harus ditakutin, ihik. Followersnya aja cuman seuprit.. she's not kind of influencer laaa...
b. Berubah pikiran karena saya menulis?
La wong saya sudah tegaskan, bahwa seandainya saya menulis dari sisi seorang Jero Wacik, tidak berarti saya menulis beliau benar atau salah, atau membenar-benarkan yang salah.
Saya malah ingin ketemu beliau, loh... ingin kenalan. Kapan lagi saya bisa kenalan dengan tokoh besar seperti Jero Wacik? Kalau beliau tidak di rutan, paling banter saya ketemu dan membuat foto, pas beliau mukul gong doang dari jauh.
c. Saya menulis karena saya mata duitan?
Aish... boleh dicek, saya tidak merasa perlu dibayar untuk menulis tentang sesuatu yang saya tidak suka. Saya memang tidak dibayar untuk itu.
Menulislah, karena memang harus menulis.
Sadarilah, banyak sekali kasus pemberitaan tidak berimbang di dunia ini. Sebagian besar terjadi karena media. Menggiring opini publik, namanya.
Sadarilah, bahwa seorang Jero Wacik mungkin termasuk salah seorang yang perlu kita dengar secara langsung. Mungkin saja, he's kind of the man that judging by a press. Perhaps, he's suffered by it.
Mungkin.
Mana kita tahu, kalau kita tidak bertemu muka langsung dengannya? Manalah kita bisa memutuskan, kita adalah Sahabat Jero Wacik, atau sebaliknya, Musuh Jero Wacik. Itu saya loh. Kalau kamu mah, terserah... lagipula, saya tidak dalam kondisi sangat kekurangan hingga harus menerima uang dari seorang terdakwa kasus korupsi.
Eh, maaf? Korupsi, Neng?
Well.. palu sidang belum diputuskan. Berilah kesempatan kepada seorang Jero Wacik untuk bicara kepada dunia, melalui tangan media. Berilah kesempatan untuknya membuat berita berimbang.
GIVE IT TO PUBLIC. Is it?
Serahkan kepada publik untuk menilai isi tulisan kita. Jadilah sosok jurnalis yang tidak hipokrit binti ambigu. Sejatinya, sebuah tulisan yang dipublikasikan ke media berpijak pada posisi netral, ga memihak.
Kenyataannya.. "good news is a bad news" dan "bad news is a good news" adalah afiliasi yang terjadi. Tidak semua, sih.. ya paling cuma 90 persen yang seperti itu *waaks* *eh, ini data tanpa survey, cuman bisik-bisik tetangga, ga usyah dipercaya*
Berita tak berimbang inilah, yang sejatinya memerlukan campur tangan seorang penulis. Blogger, apalagi. Bukan rahasia umum, kalau posisi blogger saat ini dianggap penting. Karena blogger is an end user. Blogger menilai berdasar hati nurani. Blogger ga bisa dibeli, padahal udah dibekalin gudibeg #eeh...
Masih dalam tema "berita tak berimbang",
aku teringat dengan dua kasus besaaaarrrr yang nyaris tenggelam karena teralihkan oleh media yang menggiring opini publik.
Satu, waktu kasus FPI versus Dayak Non Muslim,
di Palangkaraya, Kalimantan Tengah beberapa waktu lalu. Entah mengapa, keesokan harinya, kasus yang tercetak dan tertulis adalah berita yang menyimpang 180 derajat dari aslinya. Dan... tak ada yang repot-repot mengklarifikasi ulang.
Hasilnya? Semua menghujat FPI. Tak usah kujelaskan detil ya, gugling aja, ntar juga banyak hasilnya.
Dua, voting kasus Bank Century.
Dengan imbas bail out Bank Century bermasalah, maka ada 32 suara yang akhirnya pindah dan mendukung keputusan bahwa kasus pemberian dana ini harus diperkarakan.
Apa yang terjadi? Saat itu, berita yang turun adalah menyorot Koalisi Kutu Kupret, sehingga tidak ada apresiasi pada personal.
Dua kasus di atas menunjukkan,
bahwa tak selamanya media massa jenih mengamati. Atau, saking jernihnya ya sampai tembus pandang...
Last but not least, aku jadi mengutip kode etik jurnalistik di bawah ini.
Mengingat perjuangan wartawan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa Indonesia, maka selain bertanggungjawab kepada hati nuraninya, setiap wartawan wajib bertangungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada Masyarakat, Bangsa dan Negara dalam melaksanakan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sesuai dengan kode etik jurnalistik.
KODE ETIK JURNALISTIK (Hasil Kongres XXII di Banda Aceh 27-29 Juli 2008. Draft awal adalah keputusan Konkernas PWI 4 – 10 Juli 2007 di Jayapura, Papua)Yuk, kita belajar menghargai orang dengan tulus, tanpa syak wasangka. Belajar mendengar apa yang tak terdengar, belajar melihat dari sudut pandang yang berbeda.
Oya, kalau kamu ingin jadi Sahabat Jero Wacik, atau Musuh Jero Wacik sekalipun, pastikan kamu bertemu dengan beliau, bicara dari hati ke hati, lalu tatap mata beliau dan katakan. "Saya sahabat Bapak atau musuh Bapak."
Salaaam...
Sndaikan semua blogger cetdas kayak lie, score klout gue gak bakal naik. Untung banyak yg tahunya cuma dapur sama kakus. Jadi beruntunglah gue.
BalasHapushahaha... salam saya untuk pak Jero Wacik, saya ingin menjabat tangan beliau. dan memastikan saya musuh atau sahabatnya yaa
HapusBapak ini dulu yg menggagas Indonesia Travel ya?
Hapusiya bener mas Nuz
Hapusthanks Mot, dibantu jawab
HapusKeren, mbaaakkk! Jauhkan syak wasangka. Itu yg perlu. (y)
BalasHapusiya. jauhkaaan .. jauhkaaaannnn
Hapusada sesuatuh tho mak
BalasHapus....noted :)
Seperti ituuuuuh kang Rahab. Thanks kunjungannya yaaa
Hapushah aku ketinggalan informasi siapa itu jero wacik terus buruburu tanya google. eh makasih mbak tanti udah share tulisan ini jadi luasin pengetahuan akuu
BalasHapusWaa... Iya, kalo ga saling memberi tahu kita ketinggalan berita mbak Nova .. maaciiih
HapusYuk, kita belajar menghargai orang dengan tulus, tanpa syak wasangka -> Setuju dengan kalimat ini. Bahkan sebetulnya dalam hukum sendiri kan ada yang namanya Azas Praduga Tak Bersalah. Tapi seringkali beberapa media abai dengan hal ini. Menggiring opini ke arah tertentu sehingga para pembaca pun terpengaruh. Padahal yang kita butuhkan sebetulnya pemberitaan yang seimbang.
BalasHapusBetul mommy Chi,
HapusDan.jadi inget Antasari Azhar, dituduh pembunuh ... -____-
Hadir... Judul yg kereeeennn...
BalasHapusWaaa dibaca judulnya doang dong
HapusMenulis tanpa berpihak itu PR, mbaakkk.
BalasHapusSalam kenal :)
Hai mbak Ratna, salam.kenal juga ....
HapusThanks, saya rasa tulisan ini biasa aja, ga berpihak ke siapa pun
Ora mudheng >.< hahahaha *low IQ*
BalasHapusPodho mbakeeee hihihii
HapusBegindang ne. Ye canteq kagak? Kalo kagak, sonoh angkut jemuran!
BalasHapusMirip seperti itulah. Parahnya....ternyata gue kagak cantik. Hahaha....
Waaakaaaaakakaaa daleeeeeeemmmmm
HapusTapi sumpah aku tak percaya media lagi. Aku kerja sudah belasan tahun dan tahu-tahu muncul berita perusahaan tempatku bekerja menimbun bahan berbahaya dan beracun.Perusahaan tempatku bekerja memproduksi nitrogen, karbondioksida, dan gas beracun lainnya. Ya ampuuun darimana mereka tau sedangkan aku yang belasan tahun kerja di situ melihat tabung nitrogen atau gas lainnya saja tidak pernah. Duuh benar-benar media ini tukang bohong. Bohong luar biasa. Jadi lebih baik cross check dan jika ada pemberitaan miring tentang seseorang percayalah bahwa itu tidak semuanya benar. Dan bisa jadi Pak Jero Wacik juga ada salah dan ada benarnya. Ada yang diungkap media, ada juga yang ditutup-tutupi agar pemberitaannya tetap menyudutkan.
BalasHapusHebatnya lagi Yang menggiring opini biasanya media mayor yang mainstream
Hapussesudah aku telusuri,
Hapusternyata ada beberapa berita yang sama sekali miring, dan hebatnya lagi itu saksi-saksi ... ck ck ck.. bersekutu untuk mengiyakan!
Noted, semoga bisa melihat dengan tulus
BalasHapusThanks Mot
HapusSaya dukung mak Tanti bertemu dgn orang2 yg disangka korupsi untuk mengorek langsung cerita mereka dengan sejujur-jujurnya. Saya juga pengen tahu cerita sebenarnya mengenai LHI (Luthfi Hasan Iskak), karena beritanya sangat menjatuhkan. Seperti halnya Antasari yang terlihat buruk di mata media. Wartawan2 itu dibayar, semoga blogger tidak mata duitan untuk hal2 yg berkenaan dgn nurani,hukum, dan kemanusiaan.
BalasHapusSaya seperti flash back ke kejadian kejadian dulu mbak :(
HapusTerutama kasus kasus besar, butuh jiwa besar dan mata yang jernih. Konspirasi mereka sudah membutakan mata awam .... :((((
media di kekinian, milik korporasi, menulis bukan lagi karena ingin menegakkan kebenaran tanpa menutup-nutupi. an masyarakat tanpa sadar tergiring pada pembentukan opini yang dilakukan media. Sukar mempercayai media, karena semua ada agenda terselubung, termasuk soal korupsi, pelakunya, dan lingkaran yang lebih besar yang ada dibelakangnya. yang ada dibelakang itu yang hampir tidak tersentuh oleh media, padahal.., mereka tahu.
BalasHapusada satu media besar yang rajin dan gemar menggoreng kasus sampai matang,
Hapussayang, kadang berdasar sudut pandang mereka saja. Ini kudu dipertanyakan, terutama oleh beberapa sahabat yang rajin mendiskreditkan tulisan teman lainnya ------ tanpa menyelidik lebih lanjut kasus tersebut
Waaahhh mak Tanti ngangkat topik iniiii, mantab. Soal berita berimbang, iya juga sih ya, kadang kita juga harus melihatnya dari 2 sisi, ga bisa hanya dari 1 sisi saja
BalasHapusaku sih pinginnya nulis karena ga dibayar untuk opiniku May....
Hapusjadi ga subyektif
Aku kadang bingung sendiri dengan pemikiran masyarakat yang hanya dari 'katanya', tanpa tahu ada apa di balik 'katanya' tersebut.
BalasHapusjadi itu yang sedang kupertanyakan, mbak,
HapusKatanya media A B C yang belom tentu jujur.
media bs membolak balik fakta ...yg hitam jd putih...yg putih jd hitam..pembaca hrs selektif dan pkai hati nurani...dan klo media memahami kode etik...ga bakalan yg hiyam jd pth ato sebaliknya..tp yahhh apalah daya..itulah yg katanya "tuntutan"...tau tuh sp yg menuntut... herrr
BalasHapussemua ga berdaya ... apalagi cuman aku dan siapalah aku ini
HapusMak Tanti, soal "tak selamanya media massa jenih mengamati. Atau, saking jernihnya ya sampai tembus pandang."
BalasHapusItu yang terjadi di Senayan. Entah memang tidak jernih atau sengaja dibuat keruh. Atau apalah-apalah. Ngeriiii...
Saya bahkan smp pd titik di mana buat saya media dan wartawan terutama pewarta politik itu tanggung jawabnya di mata Tuhan luar biasa bangeeet. Karena mrk sgt signifikan menggiring opini.
Saya mingkem ajaah. Karena dunia ini gak selalu hitam putih, banyakan abu2-nya apalagi klo terkait politik, abu2 pake banget. Mingkem bukan karena apa2, tp karena sy sendiri takut salah menilai.
Saat blogger sebagai pewarta, semoga blogger tetep bs menulis dg hatinya, dengan kemanusiaannya.
Saat blogger sebagai pewarta, semoga blogger tetep bisa menulis dengan hati, dengan kemanusiaannya.
Hapussaya berharap demikian :(
Baru ngerti, siapa Maak? Gagal Googling, udah dihapus kali ya
BalasHapusoow, yang mana nih?
HapusTopik utama : Undangan Jero Wacik ke Rutan Cipinang, via salah seorang blogger
untuk dihapus atau engga saya ga ngecek lagi mas
Saya setuju sekali dengan rencana mbak untuk menulis dari sisi Jero Wacik supaya ada keseimbangan berita....asal jangan lupakan prinsip KEHATI-HATIAN. Sangat mudah lho kita menjadi naif dan terbawa perasaan saat mendengar 'curhatan' mantan 'orang kuat', sehingga akhirnya penulisannya jadi memihak. Pesan saya, CEK dan RICEK lah lagi apapun yang dikatakan Jero Wacik, karena tersangka koruptor biasanya cenderung merasa diri tidak bersalah dan dizolimi. Jadi cek dan ricek lah pada orang2 di lingkungannya, staf2 di departemennya atau mantan bawahannya saat dia berkuasa. Tentunya pendapat BEBERAPA ORANG tsb lebih objektif daripada pendapat Jero Wacik terhadap DIRINYA SENDIRI. Selanjutnya, silakan gunakan hati nurani, mau ditulis seperti apa. Salam
BalasHapusLah itu sampeyan ga baca dong tulisan saya di atas. Bacanya dengan teliti yaaa. Ada ga kemungkinan saya nulis lagi. Bacanya pake kacamata juga boleh. Mungkin bisa lebih jelas
HapusSorry, membaca gaya tulisan anda, saya pikir anda pribadi yang 'mature' utk menerima pendapat yang disampaikan baik2. Melihat gaya jawab anda, ternyata saya terkecoh.
BalasHapusBTW, saya bukan blogger, ini kebetulan bump into your blog. Why Anonymous? karena kenal dgn pak Jero.
Minta maaf karena saya ga mature ya pak. Saya mendapat banyak peringatan keras untuk tidak menulis. Disampaikan dengan kata kata tidak bijak juga.
HapusSaya pikir anda juga akan berbuat sama. Minta maaf sekali lagi.
tanpa prasangka ini yang agak susah ya, mak. harus dimulai untuk membersihkan kacamata dari diri sendiri, biar ga ngeblur kalau liat orang dari sudut pandang sendiri, hehe
BalasHapusBagian "gak ngeblur" ini emang sumir, kok Ila Rizky ..
Hapusapalagi ini menyangkut politik, yang mayoritas abu-abu
Emang salah ya sahabatan sm koruptor ? Mungkin arti sahabatnya aja kali yg hrs lbh dipertegas. Sy justru mengapresiasi niat JW utk bersahabat dgn blogger. Jd tinggal bloggernya aja mau atau tidak. Trs klu mnrt sy sih ga perlulah sampe liat2an segala utk menjadi sahabat. Balik maning ke arti sahabat itu tadi. Bukankah sahabat sejati juga hrs bisa berkata salah jika salah dan benar jika benar. Dan setahu sy sahabat itu lintas segala loh... Dari sini kita kan bisa ambil benang merahnya, tinggal bilang aja sm JW,"Pak...saya mau jd sahabat bpk benar atau salah tetep sy tulis loh Pak ! Itu opiniku loh jeng... Btw nice artikel...!
BalasHapusmbaaaak... terharuuuu.... peluk mbak Ety ^^
HapusSuka banget dengan tulisan ini. Membuka cara pandang yang berbeda, cerdas, dan mendalam. Salam kenal mba
BalasHapusterimakasih mbak Sonta, iya semoga kita ga men-judge membabi buta ya
Hapussuka sama tulisan mak tanti, cerdas dan berisi
BalasHapus