pembahasan "berat" nih pagi-pagi! Masuk ke sebuah ranah yang selama ini hanya aku ikutin selintas dari koran!
Dengan tema :
Model Pendampingan Pemanfaatan TIK untuk Pemberdayaan Perempuan
Ya tapi ngga apa-apa deh,
mendinglah 30 ribu, tarif standar ngojek pagi-pagi. Soalnya lumayan jauh dari halte bus depan Hotel Peninsula situ. (Mudah-mudahan tu abang grab bike ngga mikir, ni pere pagi-pagi keluyuran dari hotel A ke hotel B.. grrrhhh..)
Nah, di dalam ternyata udah ada :
- Ibu Sekretaris Deputi Partisipasi Masyarakat KPPPA, Asisten Deputi Bidang Partisipasi Media KPPPA pak Bambang Kristiantono, pak Bobby Guntarto Yayasan Pemerhati Anak, Kepala Bidang Media Elektronik dan Media Sosial KPPPA Ibu Imiarti, dan Kepala Bidang Media Cetak KPPPA pak Dwi Supriatno.
- Ada juga tercantum nanti akan ada narasumber Ibu Miriam Bharata dan pak Anton dari Kominfo
Kenalan dengan KPPPA
Pssst... kita mulai. Ehem ehem. Upaya penanganan perlindungan anak di Indonesia secara nasional pada dasarnya telah dimulai sejak tahun 1990. Pada tahun tersebut, pemerintah Indonesia secara resmi meratifikasi Konvensi Tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) melalui Keppres No.36/1990.
Pada tahun 1997, pemerintah menerbitkan Undang Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak berupa undang-undang khusus yang mengatur masalah anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-undang tersebut memberikan perhatian dan spesifikasi khusus bagi anak-anak yang disangka melakukan tindak pidana. Undang-undang ini juga memberikan kekhususan baik dalam penyidikan, penahanan, penuntutan, peradilan hingga penempatannya di lembaga pemasyarakatan anak.
Sebagai puncak dari upaya legislasi ini adalah lahirnya Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini memberikan nuansa yang lebih komprehensif dalam upaya negara memberikan perlindungan pada anak di Indonesia. Sejalan dengan dengan itu, nomenklatur perlindungan anak dimasukkan ke dalam APBN sehingga memberikan jaminan bagi upaya perlindungan dan kesejahteraan anak-anak Indonesia.
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 secara khusus memberikan mandat untuk membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sebagai institusi indepeden, KPAI diberikan mandat untuk melakukan pengawasan upaya perlindungan anak yang dilakukan oleh institusi negara dan melakukan investigasi terhadap pelanggaran hak anak yang dilakukan negara. KPAI juga berkewajiban memberikan saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden tentang berbagai upaya perlindungan anak.
Atas prakarsa dan perhatian khusus dari Presiden R.I., pada awal tahun 2009 masalah perlindungan anak dimasukkan ke dalam satu kementerian bersama dengan pemberdayaan perempuan. Sesuai dengan perubahan tersebut, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II berganti nama menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA).
Implementasi Penanganan Perlindungan Anak
Pelaksanaan penanganan perlindungan anak di Indonesia hingga saat ini masih terkesan hanya berjalan di tempat. Secara umum, “rapor” tentang pelaksanaan penanganan masalah perlindungan anak di Indonesia masih nampak buruk di mata Komite Hak Anak PBB terutama menyangkut masalah diskriminasi pada anak berdasarkan jenis kelamin khususnya terkait dengan usia perkawinan.
Indonesia masih membedakan batas usia perkawinan, untuk laki-laki 19 tahun sedangkan untuk perempuan 16 tahun. Ini menunjukkan bahwa negara masih memberikan diskriminasi bagi anak perempuan, diskriminasi juga masih terlihat pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan dan anak-anak yang menjadi kelompok minoritas.
Terkait dengan penerapan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, hingga saat ini masih banyak ditemukan anak-anak yang harus menjalani hukuman penjara di Indonesia. Menurut catatan UNICEF (2009), jumlah anak-anak tersebut diperkirakan telah mencapai lebih dari 4.000 orang anak per tahun. Padahal sebagian besar dari mereka melakukan kejahatan ringan. Bagi sebagian pakar hukum dan masyarakat awam, batasan usia 8 tahun sebagai batas usia tanggung jawab kriminal bagi anak-anak dianggap terlalu rendah.
Komitmen terhadap upaya perlindungan anak yang masih rendah juga nampak dari masih sering terjadinya kasus anak-anak pelaku kriminalitas yang ditahan atau dimasukkan penjara bersama-sama atau dicampur dengan orang dewasa yang dapat memperparah/memperburuk perilaku dan kejiwaan anak kearah yang tidak baik.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 138 tentang batasan usia minimum yang diperkenankan bagi anak-anak untuk bekerja dan Konvensi ILO 182 tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak.
Indonesia juga telah memiliki rencana aksi nasional penghapusan bentuk bentuk terburuk pekerjaan yang diperuntukan bagi anak. Namun kenyataan tingginya jumlah anak yang bekerja baik di sektor formal maupun informal menunjukkan masih belum teratasinya permasalahan yang terkait dengan pekerja anak. Di lain pihak, gambaran situasi ketenagakerjaan ini juga menunjukkan bahwa upaya perlindungan anak terhadap berbagai tindakan eksploitasi untuk mempekerjakan anak belum maksimal.
Di bagian eksploitasi seksual anak, pemerintah mengakui belum adanya data akurat, namun diperkirakan dari semua kasus eksploitasi seksual sekitar 60 persen korbannya adalah anak-anak yang mayoritas perempuan. Berbagai bentuk eksploitasi seksual komersial anak banyak dijumpai di Indonesia seperti anak yang dilacurkan, pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan pornografi anak.
Diperkirakan sekitar 30 persen dari pekerja seksual di Indonesia yang jumlahnya 30.000-70.000 adalah anak-anak *darurat perang*. Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi optional protocol Konvensi Hak Anak (protokol tambahan PBB) tentang penjualan anak, pelacuran anak dan pornografi anak sehingga undang-undang yang ada masih dinilai kurang efektif akibatnya anak-anak korban eksploitasi seksual sering tidak mendapatkan perlindungan atau bantuan pemulihan yang efektif.
(sumber : KPPPA - http://kemenpppa.go.id)
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA) tanggal 8 April 2016 lalu, mengadakan rapat dengan media sosial dan para penggiat internet di Indoneia, sehubungan dengan kelanjutan hasil rapat beberapa kali dengan media dan penggiat sosial media.
Instruksi Menteri PP dan PA, Yohana Yembise ini sejalan dengan instruksi Presiden Joko Widodo agar pembangunan dilakukan mulai dari Timur ke Barat, khususnya pembangunan yang melibatkan peran perempuan dan anak yang dilakukan secara holistik, terpadu, dan terintegrasi. Untuk KPPPA sendiri, mereka berharap terjadinya sinkronisasi atau keselarasan program antara pusat dan daerah.
Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak antar sektor, antar wilayah, serta antara pusat dan daerah bisa mengacu pada program unggulan Kementerian PP dan PA Three Ends, yakni
- End Violence Against Women and Children (Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak);
- End Human Trafficking (Akhiri Perdagangan Manusia), dan
- End Barriers To Economic Justice (Akhiri Kesenjangan Ekonomi).
PERAN SERTA MEDIA DAN PENGGIAT MEDIA SOSIAL
VERSUS
Media diposisikan sebagai pilar keempat sesudah lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif dalam garda pembangunan suatu negara. Dengan beberapa aspek, yaitu menghibur, mengedukasi, memberikan informasi, bahkan untuk mempengaruhi para pendengar atau pembacanya.
Tidak bisa dinafikan. 90 persen penduduk dunia terpaku pada televisi dan internet. Tak terlepas dari keterbatasan ruang yang semakin menghimpit, tentu saja. Sayang, dampak positif ini bergandengan dengan dampak negatif!
Media industri berlaku orientasi bisnis, dan mengacu pada nilai jual yang identik dengan selera pasar. Mereka bergantung pada rating dan pemasangan iklan sebagai kelangsungan hidupnya. Sehingga terbetiklah satu slogan secara konvensional yaitu ‘Bad News is Good News’.
Kebayang kan .. kalau kondisi ini terus menerus terjadi?
Anak bangsa menjadi konsumtif, bias gender, rentan kekerasan.. bla bla blaaa .. jika terus mengkonsumsi produk media yang tidak berkualitas. Pedih!
Kenapa?
Karena media selama ini selalu menjadikan perempuan dan anak sebagai obyek dari tayangan dan pemberitaan.
Mulai dari iklan, sinetron sampai yang ga ada hubungannya, semua sama : mengeksploitasi tubuh perempuan dan anak-anak
Maka dari itu, program prioritas yang utama dari KPPPA dengan three END :
1. Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, laki-laki, dan anak-anak,patut kita dukung, dan kita berharap ada sinergi yang baik.
2. Mengakhiri perdagangan orang yang marak akhir-akhir ini, baik perdagangan dengan cara eksploitasi seksual maupun perdagangan yang berkedok pertukaran budaya, dan
3. Mengakhiri kesenjangan di sektor ekonomi perempuan terhadap laki-laki
Dengan kolaborasi bersama media dan blogger, komunikasi yang baik berusaha kita wujudkan. Demi masa depan bangsa.
Demi....
Masa depan anak-anak kita..
itung-itung latihan mbak tanti nanti kan mau jadi menteri KPPA :) good luck ya
BalasHapuskomentarmu itu looh .. bikin aku ngikik
Hapussaya mah agak gappol (gagap politik) jadiii......
KPPA itu kepanajangan apa ya mbak .. xixixi
BalasHapusKementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak mas hehehehhe ... Iya juga yah, saya aja ngga apal
HapusKementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak mas hehehehhe ... Iya juga yah, saya aja ngga apal
Hapuseehh ada Bunda Mariam..
BalasHapusmendukung mak neng jadi menteri KPPA...
yihaaa..
Huaa, kenapa bisa salah hotel mba hihii blum nyarapan yaq ^^
BalasHapusSkrg bnyk undangan seperti ini yah mak? :) dilirik parpol nih bisaaa..hehe
Hmmm semoga sukses ya mbak saya hanya bisa mendoakan saja dan memberi dorongan dari belakang.
BalasHapussaya dukung mba jadi mentri :) MENRUT (mentri rumah tangga)
BalasHapussiap dukung, lanjutkan :)
BalasHapusgood luck mbak
BalasHapusWaaah berat juga ya mak pembahasannya.. Tapi penting dan dalem banget nih materinya.. Setuju, media harus berubah ya. Untuk masa depan anak-anak kita juga yang sekarang masih kecil-kecil.. Makasi infonya ya Mak Neng..
BalasHapusSemoga kekerasan pada anak dan wanita berkurang dan tidak ada lagi
BalasHapusNah kalau yang ini fokus gue ke kisah si aksa ... hehehhehhe
BalasHapus