"May the peace of the Dreamweaver
always be with you"
~The fairies of the Woodshire Realm
“Cantiknyaa..
“
“Seperti
hidup ya, serasa di dalam rumah beneran!”
Suara-suara
di luar studio membangunkan aku. Tergeragap, aku menggapai pinggiran dinding,
mencari kacamata. Seberkas sinar menerobos tiraiku yang terbuka. Aroma pisang
goreng yang manis, bercampur dengan kopi menyelimuti udara.
“Dais,
sudah bangun? Tuh, hasil karyamu mengundang decak kagum manusia di luar,” Linda,
kakakku menendang tepi tempat tidur.
Dengan malas aku menyeret langkah ke arah pintu kamar mandi. Tak lupa, menyomot sepotong pisang goreng di meja.
“Auuh!
Panaas!” seruku tertahan, ketika pisang goreng itu menyentuh lidah.
Linda
mencebik. Tanpa mengangkat kepala dari adonan tepung polimer, ia berseru, “Makanyaa.. sinkronkan dulu otak sama mulut!”
Aku
buru-buru mandi. Hari ini agendaku adalah mengantar beberapa pesanan miniatur kue-kue dan cupcake milik sebuah toko roti di Jalan Sembilan, dan figurin tokoh
Doraemon. Yang ini pesanan khusus untuk kelengkapan ulang tahun seorang anak
laki-laki usia delapan tahun.
Kulirik
jam, pukul delapan.
Baiklah, aku akan membuka toko sebentar, kurasa cukup waktunya sebelum Linda siap menggantikanku. Ia sendiri sedang menyelesaikan pesanan sebuah rumah peri lengkap dengan hutan mini dan unicorn-nya.
Kulirik kaca sekilas.
Jalanan masih lengang, namun lalu lalang pejalan kaki kadang terhenti sejenak, mengagumi display toko. Rumah kami memang sudah disulap Linda menjadi studio sekaligus toko buku mungil. Kami membuat aneka patung peraga dari bahan clay dan polimer.
Baiklah, aku akan membuka toko sebentar, kurasa cukup waktunya sebelum Linda siap menggantikanku. Ia sendiri sedang menyelesaikan pesanan sebuah rumah peri lengkap dengan hutan mini dan unicorn-nya.
Kulirik kaca sekilas.
Jalanan masih lengang, namun lalu lalang pejalan kaki kadang terhenti sejenak, mengagumi display toko. Rumah kami memang sudah disulap Linda menjadi studio sekaligus toko buku mungil. Kami membuat aneka patung peraga dari bahan clay dan polimer.
Tok
.. tok..
Uff…
wajah itu! Iris, tetanggaku, masuk dengan seringai khasnya. Semerbak bau parfum
mahal memenuhi toko. Terbalut kaus ketat berwarna putih leher sabrina, lehernya
tampak jenjang. Ia memang hobi memamerkan segala macam barang, termasuk yang
melekat di tubuhnya.
“Haai… ladies, apa kabar? Aah, kamu membuat rumah
peri lagi, ya dear?” tanyanya, sambil
mendekatkan wajahnya ke kaca etalase.
“Ih, lucunya! Tapi, biar lebih lucu, kamu bisa mengecatnya dengan gradasi warna ungu, loh!”
“Ih, lucunya! Tapi, biar lebih lucu, kamu bisa mengecatnya dengan gradasi warna ungu, loh!”
“Gitu,
deeh..” sahutku asal-asalan.
Sebentar lagi, pasti ia akan…
Sebentar lagi, pasti ia akan…
“Eh,
kamu lihat tidak cincin batu opalku ini? Semalam Kafka yang membelikan. Cantik
ya..”
See! Baru saja aku mau bilang.
Kafka, suaminya memang hobi membelikan berbagai barang. Mungkin ia menyadari hobi narsis istrinya ini.
See! Baru saja aku mau bilang.
Kafka, suaminya memang hobi membelikan berbagai barang. Mungkin ia menyadari hobi narsis istrinya ini.
“Maaf,
ya Ris, aku mau pergi, nih. Kamu ngobrol saja dulu sama Linda, ya?” kulemparkan
umpan andalan.
Iris takut sekali dengan Linda. Kakakku itu tak mempan dengan bualan Iris. Ia malah sering melontarkan tatapan tajam, tak suka.
Iris takut sekali dengan Linda. Kakakku itu tak mempan dengan bualan Iris. Ia malah sering melontarkan tatapan tajam, tak suka.
“Ow, yeah.. aku juga mau pergi. Hari ini,
kan acara ulang tahun Cindy di Café Chibby. Aku memang mau mengundangmu,”
Iris mengeluarkan sebuah kartu merah jambu mungil yang mewah. “Datang ya.. kecil-kecilan, kok, cuma seratus undangan.”
Iris mengeluarkan sebuah kartu merah jambu mungil yang mewah. “Datang ya.. kecil-kecilan, kok, cuma seratus undangan.”
“Kuusahakan,”
balasku pendek.
Gile, ulang tahun anak piyik usia empat tahun saja dirayakan di resto mahal. Tapi aku tak berniat datang. Aku memang tak suka pesta.
Gile, ulang tahun anak piyik usia empat tahun saja dirayakan di resto mahal. Tapi aku tak berniat datang. Aku memang tak suka pesta.
Sebenarnya,
aku dan Iris berteman sejak kecil. Kami bahkan sempat tukar-menukar diary. Namun, sejak ayahnya menduduki
posisi penting di satu Perusahaan Negara, kemudian Iris bersekolah di Amerika, ia
berubah.
Yang tak ia sadari, aku juga berubah. Bukan lagi Daisy si pemalu berlesung pipit.
Sejak usiaku menginjak tujuhbelas tahun, Oma menurunkan keahliannya membuat segala jenis patung mungil dari aneka bahan.
Yang tak ia sadari, aku juga berubah. Bukan lagi Daisy si pemalu berlesung pipit.
Sejak usiaku menginjak tujuhbelas tahun, Oma menurunkan keahliannya membuat segala jenis patung mungil dari aneka bahan.
Aku
juga belajar memindahkan keindahan alam sekitar dengan membisikkan rapalan kata-kata khusus saat
menguleni adonan hingga kalis.
Hasil akhir dari figurin atau patung lempungku akan menjadi hidup. Tak jarang, cerahnya sinar matahari seolah menyinari rumah miniku, atau bahkan ketika tetes embun membasahi bumi dan aku membayangkannya, peri-peri hutan yang kubuat seolah bergembira.
Hasil akhir dari figurin atau patung lempungku akan menjadi hidup. Tak jarang, cerahnya sinar matahari seolah menyinari rumah miniku, atau bahkan ketika tetes embun membasahi bumi dan aku membayangkannya, peri-peri hutan yang kubuat seolah bergembira.
Bzzz…
getar android yang kutaruh di etalase.
Kubaca sepintas, notifikasi aplikasi whatsapp Vino!
Kubaca sepintas, notifikasi aplikasi whatsapp Vino!
Hai, cantik.. sudah siap? Theta sudah nunggu nih.
Hai.. ok ok.. sejuta muach dulu buat Theta… Kukirim emoticon
hati.
Setumpuk
kardus kususun dan kumasukkan ke dalam aneka kantong plastik. “Kak Lin, aku
berangkat, ya!” seruku.
Linda hanya mengangguk. Ia berjalan pelahan ke depan dengan nampan karyanya.
Linda hanya mengangguk. Ia berjalan pelahan ke depan dengan nampan karyanya.
Mobil jaguar perak telah menungguku, dengan
sebentuk wajah mungil di kaca jendela. Theta, putri Vino.
Aku menaruh tas-tas di bagasi dan masuk ke sebelah bangku pengemudi. Kukecup sekilas pipi Vino, dan memeluk Theta. Ia tertawa dan melompat pindah ke bangku belakang.
Aku menaruh tas-tas di bagasi dan masuk ke sebelah bangku pengemudi. Kukecup sekilas pipi Vino, dan memeluk Theta. Ia tertawa dan melompat pindah ke bangku belakang.
“Tante
Ci, nanti kita ke ulangtahun Cindy, yaa.” Theta berseru dengan lafalnya yang cadel.
Ups.. aku menoleh ke Vino. Ia tersenyum.
“Iya,
kami diundang Iris, sayang..” Vino memindahkan mobil ke jalur cepat. Aku diam
saja. Iris adalah mantan cinta monyet Vino di kelas sepuluh. Such a small world, huh?
Usai
mengantar pesanan, sudah pukul satu.
Mobil memasuki area parkir Café Chibby. Dengan senyum terpaksa, aku menggandeng Theta. Yang digandeng melompat-lompat kecil. Iris melambaikan tangannya. Theta sudah sibuk berlarian di playland.
“Hai,
dear..” ia mengecup pipiku dan Vino.
“Vin, kamu tambah ganteng ajaa.. Tuh, Kafka di meja bilyar. Tapi ada yang harus kamu temui dulu,” ia berseru manja.
“Pinjam Vino sebentar, ya Dais,” tanpa malu, Iris menggandeng lengan Vino, meninggalkanku berdiri bengong di tengah keramaian kawan-kawan Iris.
“Vin, kamu tambah ganteng ajaa.. Tuh, Kafka di meja bilyar. Tapi ada yang harus kamu temui dulu,” ia berseru manja.
“Pinjam Vino sebentar, ya Dais,” tanpa malu, Iris menggandeng lengan Vino, meninggalkanku berdiri bengong di tengah keramaian kawan-kawan Iris.
Dan, astaga.. bulumata palsu mereka melambai-lambai. Dengan kesal, aku duduk di pojok Café menyesap es jeruk.
Tak lama, suara selop Iris mendatangi. Vino berjalan
di belakangnya dengan.. aku nyaris pingsan, melihat sosok Zizi, mantan istri
Vino!
Great! Mantan pacar plus mantan istri bersama kekasih di dalam satu ruangan!
Great! Mantan pacar plus mantan istri bersama kekasih di dalam satu ruangan!
Cukup
sudah. Vino tersenyum salah tingkah, namun aku melengos dan tanpa perlu menyapa
Zizi, aku menuju ke pintu keluar. Syukurlah, ada taksi biru yang parkir tepat
di depan café.
Vino mengejar dan menahan sikuku.
Vino mengejar dan menahan sikuku.
“Daisy,
please.. bukan aku yang meminta ini
semua, kan? Iris juga tidak tahu, bahwa Zizi sedang makan di sini. Grow up, girl..” Vino memohon. Mata
coklatnya menatapku lembut.
“Mmh..
aku capek, Vin. Semalam aku tidur larut malam menyelesaikan semua pesanan itu," kuhela napas panjang sebelum melanjutkan.
"Kupikir hari ini aku akan bersenang-senang dengan kamu dan Theta. It’s allright, aku pulang saja, pingin tidur. Kasihan Theta. Bye..” kututup pintu taksi.
"Kupikir hari ini aku akan bersenang-senang dengan kamu dan Theta. It’s allright, aku pulang saja, pingin tidur. Kasihan Theta. Bye..” kututup pintu taksi.
Mataku
panas seketika.
Iris keterlaluan!
Aku tahu persis siapa Iris. Ia pasti tahu, Vino akan datang bersamaku. Bukan sebuah kebetulan ada Zizi di sana. Ia kan tingal di luar kota! Hatiku menggemuruh. Apa sih, salahku sehingga Iris tak henti mengganggu?
Iris keterlaluan!
Aku tahu persis siapa Iris. Ia pasti tahu, Vino akan datang bersamaku. Bukan sebuah kebetulan ada Zizi di sana. Ia kan tingal di luar kota! Hatiku menggemuruh. Apa sih, salahku sehingga Iris tak henti mengganggu?
Brak!
Pintu toko kubuka kasar. Linda tersentak, kaget.
Pintu toko kubuka kasar. Linda tersentak, kaget.
“Hellaaawww…
pintunya bukan pintu mainan!” ia berseru.
Tapi melihat dahiku berkerut kesal, Linda paham. Aku berjalan mengentak-entakkan kaki ke arah kamar. Kuempaskan badan di tempat tidur.
Tapi melihat dahiku berkerut kesal, Linda paham. Aku berjalan mengentak-entakkan kaki ke arah kamar. Kuempaskan badan di tempat tidur.
“Vino?”
Aku menggeleng.
“Iris
lagi? Kenapa datang ke pesta Cindy kalau begitu?” tanyanya lembut.
“Bukan cuma itu, kak. Tadi ada Zizi, mantannya
Vino. Konyolnya, Iris memaksa Vino menemui Zizi!”
“Oh my..
“ Linda menautkan alisnya.
Ia memejamkan matanya sejenak dan mengangsurkan segelas air bening. Tak sadar, kureguk habis hingga tenggorokanku dingin.
Ia memejamkan matanya sejenak dan mengangsurkan segelas air bening. Tak sadar, kureguk habis hingga tenggorokanku dingin.
“Keterlaluan!" ia mendesis.
Linda menatap bola lampu dengan lavender yang bergelantungan di dinding. "Kurasa, kamu bisa mengubah itu semua, kalau kamu mau..” Linda menggantung
kalimat terakhir.
Ia meninggalkanku termangu di kamar.
Ia meninggalkanku termangu di kamar.
Alarm
meja menyala, berkedip-kedip hijau. Aku membuka mata dengan susah payah,
sebagian karena habis menangis, sehingga rasanya lengket.
Pukul 01.00.
Teringat tekadku
tadi sore, aku memaksa diri ke kamar mandi dan mencuci muka.
Dengan
hanya menyalakan satu lampu di sudut ruang makan, aku mulai bekerja. Mengambil
sekilo tepung, gliserin, air dan peralatan mewarnai. Sebelum mengaduk adonan,
aku diam sejenak. Merasakan keheningan alam sekitar, menyatu dengan alam
semesta.
Energi hangat kurasakan mengalir pelahan hingga ke buku-buku jariku. Tergambar dengan jelas, apa yang akan kubuat. Wajah tampan Vino, hingga rambut keriting Theta. Semua kubuat dengan penuh rasa cinta.
Energi hangat kurasakan mengalir pelahan hingga ke buku-buku jariku. Tergambar dengan jelas, apa yang akan kubuat. Wajah tampan Vino, hingga rambut keriting Theta. Semua kubuat dengan penuh rasa cinta.
Ketika
jam kukuk berdentang lima kali, semua selesai. Dengan puas kupandangi maket
desainku, dengan lima figurin yang menggambarkan tepat seperti yang kuinginkan.
Tinggal mewarnainya. Kupejamkan mata sambil merapal mantra.
Cahaya
fajar belum menyentuh tepi jendela, ketika aku memutuskan memakai sepatu lariku
yang sudah berlubang.
Sedikit pemanasan, dan.. hap! Hap! Hap! Aku menyusur etalase menuju ke lapangan bola kecil di ujung jalan raya. Segar kembali rasanya.
Sedikit pemanasan, dan.. hap! Hap! Hap! Aku menyusur etalase menuju ke lapangan bola kecil di ujung jalan raya. Segar kembali rasanya.
Seminggu berlalu.
Ting!
Kling.. triing..!
Suara
denting pintu toko terdengar. Oh, tak kuduga, Vino! Darahku berdesir hangat. Aku
menyambutnya dengan senyum manis, namun…
“Hello,
Dais..” suara Vino halus, namun terasa dingin menembus tulang. Tak percaya, aku
mencoba menatap matanya. Tak ada sambutan mesra di sana.
“Eh..
mm.. masuk, Vin. Kamu mau minum apa? Mana Theta?” aku berusaha ceria.
“Tidak
usah, aku hanya ingin mengembalikan ini,” ia mengangsurkan sebuah kotak.
Deg!
Aku mengenal baik kotak itu. Kotak jam tangan yang kuberikan padanya tiga bulan lalu saat Vino ulangtahun.
Aku menabung dengan susah payah selama hampir setahun untuk jam itu, dan kuberi grafir inisial nama Vino di baliknya.
Tergagap,
aku bertanya.“T.. t.. tapi.. kenapa?”
Damn! Ngapain pake gagap segala, sih Dais!
Damn! Ngapain pake gagap segala, sih Dais!
“Kurasa,
kamu tahu jawabannya, Dais. Sejak kamu pergi dari kafe, aku jadi berpikir ulang
tentang hubungan kita.” Ringan ia menjawab.
Aku melotot tak percaya. Semudah itukah?
Aku melotot tak percaya. Semudah itukah?
“Hmm..
siapa?” dengan susah payah, kudengar mulutku membuka. Duh!
“Zizi,”
jawabnya pendek. Oh, I see..
Sejenak
sepi. Aku berusaha menyerap semua percakapan itu. Tanganku erat menggenggam
kotak jam yang Vino beri tadi.
“Omong-omong,
prototip rumah yang kamu pajang di luar itu bagus. Aku suka. Persis seperti
yang aku idamkan,” ia tertawa kecil.
“Jangan-jangan, pria kecil itu aku, ya?” sebelah alisnya terangkat. Vino tertawa geli, namun tawanya menghilang, ketika mata kami bertemu.
“Jangan-jangan, pria kecil itu aku, ya?” sebelah alisnya terangkat. Vino tertawa geli, namun tawanya menghilang, ketika mata kami bertemu.
“Dais..?”
“Air
hormati angin, angin kasihi api, api cintai sukma, sukma terima bumi, bumi
terima air. Pahit, pedas, manis, asin, asam. Smara, bhagya, cita, harsa, karma.
Jelmaaa… “ lirih kuucapkan
kata-kata itu.
Dalam sekejap, udara di sekitarku berubah dingin.
Dalam sekejap, udara di sekitarku berubah dingin.
Warna-warni
lembut berpusar melingkar. Seberkas cahaya melingkupi tubuhku. Kurasakan
seluruh tubuhku luruh, melumer seperti gulali lengket.
Aku berdansa bersama angin, sementara hangatnya lidah api berwarna kekuningan seolah merengkuhku, bersamaan dengan derasnya air mengaliri nadiku.
Aku berdansa bersama angin, sementara hangatnya lidah api berwarna kekuningan seolah merengkuhku, bersamaan dengan derasnya air mengaliri nadiku.
Dalam
pusaran itu, kulihat wajah Vino yang tegang, meleyot seperti polimer berwarna
biru. Ia berputar cepat dalam pusaran angin.
Tubuhnya meleleh dan satu demi satu tangan serta kakinya terpilin. Mulutnya terbuka namun tak ada satu suara pun terdengar.
Tubuhnya meleleh dan satu demi satu tangan serta kakinya terpilin. Mulutnya terbuka namun tak ada satu suara pun terdengar.
Kejadiannya
begitu cepat. Saat kubuka mata, aku tersenyum manis.
Wajah Vino yang tampan terasa begitu dekat. Sebelah tangannya menggenggam keranjang berisi makanan, sementara tangan satunya menggenggam tanganku.
Di depan kami, terlihat Theta bermain di rerumputan bersama beberapa kelinci dan landak. Kami bertiga berada di sebuah rumah mungil yang indah. Sorot mata Vino melihatku dengan tatapan kosong, namun bibirnya membentuk tawa.
Wajah Vino yang tampan terasa begitu dekat. Sebelah tangannya menggenggam keranjang berisi makanan, sementara tangan satunya menggenggam tanganku.
Di depan kami, terlihat Theta bermain di rerumputan bersama beberapa kelinci dan landak. Kami bertiga berada di sebuah rumah mungil yang indah. Sorot mata Vino melihatku dengan tatapan kosong, namun bibirnya membentuk tawa.
Aku
mengembuskan napas lega. Tugasku sudah usai.
Kutemukan belahan jiwaku, dan bersama anak kami, tak akan ada sedikit pun gangguan lagi untuk selamanya. Tidak Iris yang cerewet, ataupun Zizi yang angkuh.
Kutemukan belahan jiwaku, dan bersama anak kami, tak akan ada sedikit pun gangguan lagi untuk selamanya. Tidak Iris yang cerewet, ataupun Zizi yang angkuh.
Suara
pintu terdengar membuka. Kudengar seruan tertahan Linda.
Sunyi sejenak melingkupi, lalu, “Selamat Dais.. kau sudah memilih,” bisiknya.
Sunyi sejenak melingkupi, lalu, “Selamat Dais.. kau sudah memilih,” bisiknya.
Pintu
toko sekali lagi terbuka, dan kudengar suara Iris, isak tangis Zizi serta suara
dingin Linda menjawab.
Mereka pasti bertanya-tanya, di mana kami berada. Aku tak peduli.
Kali ini, aku, Vino dan Theta tak lagi terpisahkan.
Cinta kami akan abadi. Selamanya.
Mereka pasti bertanya-tanya, di mana kami berada. Aku tak peduli.
Kali ini, aku, Vino dan Theta tak lagi terpisahkan.
Cinta kami akan abadi. Selamanya.
Sekali
lagi, aku tersenyum manis pada Vino dan Theta.
Tangerang, April 2015.
Keterangan
:
Smara
:
asmara Bhagya : bahagia Cita : pikiran
Harsa
: sukacita Karma : akibat Jelma : jadilah
aaaaah....mistis namun berbalut cinta...dan memang bulu mata palsu itu mengganggu ya mak, hehehe...sukaaaaa :)
BalasHapusalhamdulillah... ini teaser mak Indaaaah ^^ thankyouuuu
HapusKeren banget Mbak..Cuman ya ini, aku lemot..Dais itu bunuh diri dengan membunuh Vino juga kah? hahaha..Tuh kan hebatnya dirimu..Bikin aku penasaran...
BalasHapusBetuuul!
HapusDia kan penyihir, dan doa eh.. mantra yang dirapalkannya itu adalah penyatu jiwa mereka ke dalam figurin yang Daisy buat..
Seruuu ceritanya :)
BalasHapusKeren mak ceritanya :)
BalasHapusGood Ending, saya kira bakal jadi sad ending :D
BalasHapussalam kenal mak, keren ceritanya. Btw, ditunggu folbacknya di http://elly-hasilmasakanku.blogspot.com ya.
BalasHapussegitu cinta matinya, ya. Sampe berbuat seperti itu. Bagus ceritanya :)
BalasHapusWah kalau jadi film, masuk genre arthouse nih :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusSeru ceritanya, suka suka.. tapi aku ko baru pertama kali baca fiksi di blog mak tanti.. apa aku aja yang ga ngerti yak hehehe
BalasHapusHihi.. Iyaaa aku kembalikan ke draft tadinya trus di publish ulang
HapusWah panjaaaang! Aku bacanya kudu pelan-pelan banget Mbak. Hihi. Ceritanya apik. Tapi sedih juga ya endingnya. :’)
BalasHapusiyaaa .. habis gimana, cinta kan harus memilih.. *eaaaaa
HapusAku mau di sinir jadi ganteng awet muda dan manja hehehe
BalasHapus