Bicara tentang kain khas Indonesia, biasanya apa yang terbersit di benak? Batik? Songket? Tapis? Ulos?
Yok, sebutin.. ada minimal 13 jenis kain Indonesia yang terkenal seantero jagad raya loh..pingin tahu, kalian aware apa engga ama kain tenun khas Indonesia.
What? Nyerah?
Oke, nih aku sebutin; Batik (ada puluhan ragamnya, yang terkenal dari Solo dan Yogya), Lurik, Sasirangan, Ulos, Songket (ada songket Padang, Aceh, Palembang, hingga Lombok), Tapis Lampung, Sarung (ada macam-macam sarung, yang terkenal dari Bugis dan Samarinda), Gringsing Bali, Besurek, Tenun Dayak, Tenun Ulap Doyo, Tenun Ikat, Poleng Bali dan Jumputan.
Sebagian kain Indonesia - dari berbagai sumber |
Sebutan keren kain di kalangan para pecinta kain adalah wastra, warisan nusantara. Ini aku tahu setelah berteman dengan mbak Indah Nuria Savitri.
Sahabatku ini, adalah salah satu pecinta wastra. Sebut aja, kain jenis apa yang ga dia punya. Mungkin dia nanti pengganti Obin yang dari Jepang itu, pengkoleksi kain-kain or wastra Indonesia.
LAWE, SEJARAH DAN INOVASI BUDAYA
Fitria Werdiningsih, Manager Unit Bisnis Lawe menceritakan bagaimana ia dan kelima founder Lawe berjuang untuk mengembangkan tenun tradisional Indonesia melalui pemberdayaan perempuan.
Usaha dan perjuangan para founder LAWE termasuk mbak Fitri dalam pengembangan kain tenun sebenarnya bermula sejak lama. Mereka hobi mengunjungi setiap pelosok untuk melihat ragam kain yang ada.
Bertekad mengembangkan tenun, dengan modal awal sekitar Rp 3,5 juta, itupun dana patungan bersama teman-teman pada 2004, Anindyah cs akhirnya mendirikan Lawe. Mayoritas modal awal dialokasikan untuk membeli kain.
Anindyah mendorong perajin lokal untuk lebih berani dan dinamis dalam bermain warna. Mereka pun menggali potensi produk, sehingga pengembangannya bisa menjadi tas, bantal, kantong, hingga aksesoris. Adinindyah juga berusaha mengembangkan kain tenun dari Sumba Timur, Lampung, dan Pontianak.
Kenapa namanya LAWE?
Produk ini berasal dari nama lawe yang berarti serat alam, atau benang.
Kain lurik itu sendiri, adalah kain yang diperoleh melalui proses penenunan dari seutas benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa menjadi selembar kain katun.
Proses pembuatan kain lurik diawali dari pembuatan benang tukel, tahap pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan, penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak yang dihasilkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang dijalin sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai variasinya.
Benarkah LAWE tidak laku di pasaran Indonesia? Apa solusinya?
Ha ha... tentu saja pertanyaan ini wajib diajukan kepada konsumen Indonesia. Secara gitu, orang Indonesia memang jarang yang membeli sesuatu bernilai seni, dengan alasan tidak punya uang lebih, tapi giliran produk internesyenel... astagaaaah... tas harga 2 juta pun dibilang murah!
Salah satu sahabatku pecinta kain Indonesia Indah Nuria Savitri Pic. courtesy Indah Nuria Savitri |
Ketertarikan dengan ragam kain Indonesia yang kaya itulah, yang menyeret
Adinindyah dan keempat kawannya (Adinindyah Feriqo, Ita Natalia, Paramita Iswari, Rina Anita, dan Westiani Agustin) dalam pengembangan usaha Lawe, sebuah brand lokal yang berkosentrasi pada pengembangan kain lurik.
Adinindyah dan keempat kawannya (Adinindyah Feriqo, Ita Natalia, Paramita Iswari, Rina Anita, dan Westiani Agustin) dalam pengembangan usaha Lawe, sebuah brand lokal yang berkosentrasi pada pengembangan kain lurik.
Adinindyah memberi nama perjuangan dalam hidup untuk mewujudkan tenun ini dengan weafing for life.
INACRAFT 2017
Memasuki hall Jakarta Convention Center yang megah dan dingin, aku merasa bahagia. Aneka jenis dan ragam kerajinan Nusantara ada di sana!
Hadir sebagai salah satu peserta kerajinan Indonesia, adalah LAWE.
LAWE memikat banyak pengunjung karena unik dan ragam warnanya yang eye catchy. Harganya sangat bersahabat gaes.. Mulai dari IDR 10K hingga yang termahal adalah tas tote bag Larima kulit senilai IDR 900K.
INACRAFT 2017
Memasuki hall Jakarta Convention Center yang megah dan dingin, aku merasa bahagia. Aneka jenis dan ragam kerajinan Nusantara ada di sana!
Pameran Produk Kerajinan Internasional terbesar di Asia Tenggara, Jakarta International Handicraft Trade Fair atau yang lebih dikenal dengan INACRAFT - digelar untuk yang ke-19 kalinya di Balai Sidang Jakarta Convention Center, tanggal 26 – 30 April 2017.
Tahun ini, INACRAFT 2017 diikuti oleh 1395 peserta. Mereka terdiri dari para perajin, pengusaha, produsen, dan eksportir kerajinan baik dalam maupun luar negeri
Dalam mengenalkan produk kerajinan dalam negeri ini ternyata sosial media berperan sangat aktif. Saat ini, semua produk kerajinan bisa dipastikan sudah memiliki sosial media specialist mereka. Beberapa booth di Inacraft juga bekerja sama dengan salah satu provider terbesar Indonesia yaitu XL. Alasan mereka, karena jaringan XL sangat kuat, berada dalam gedung JCC yang sangat luas, tetap memudahkan mereka mempromosikan karya melalui sosial media.
Memang, ada fenomena unik saat ini, yaitu menjamurnya jastip atau jasa titip. Pembeli cukup menunjuk foto yang dishare melalui instagram atau facebook dan para jastip yang membelikan. No wonder, paket data 4G sangat dibutuhkan!
Hadir sebagai salah satu peserta kerajinan Indonesia, adalah LAWE.
LAWE memikat banyak pengunjung karena unik dan ragam warnanya yang eye catchy. Harganya sangat bersahabat gaes.. Mulai dari IDR 10K hingga yang termahal adalah tas tote bag Larima kulit senilai IDR 900K.
LAWE, SEJARAH DAN INOVASI BUDAYA
Lawe is a community social enterprise that transform traditional handwoven into functional product through women empowerment.
Fitria Werdiningsih, Manager Unit Bisnis Lawe menceritakan bagaimana ia dan kelima founder Lawe berjuang untuk mengembangkan tenun tradisional Indonesia melalui pemberdayaan perempuan.
Awalnya, Adinindyah yang cinta dengan ragam kain ini, melihat kualitas produksi tenun Tanah Air yang itu-itu saja. Ia pun berinisiatif mendirikan Perhimpunan Lawe pada tanggal 3 Agustus tahun 2014 lalu.
Apa saja sih, yang diproduksi Lawe?
Apa saja sih, yang diproduksi Lawe?
Bermacam jenis kain, sepatu, aksesoris hingga mainan!
Yes, Lawe berkembang pesat, membentuk kain dari sederhana hingga berwarna dan bertransformasi dalam bentuk sepatu, tas, bahkan pakaian yang unik dan etnik.
- Contohnya, stagen yang tadinya untuk dipasang di perut perempuan sebelum menggunakan kebaya atau digunakan sehabis melahirkan. Dreamdellion dan Lawe mengembangkan tenun stagen berwarna (rainbow stagen) sehingga warga setempat di Yogya menjadikan ini sebagai mata pencarian utama.
Usaha dan perjuangan para founder LAWE termasuk mbak Fitri dalam pengembangan kain tenun sebenarnya bermula sejak lama. Mereka hobi mengunjungi setiap pelosok untuk melihat ragam kain yang ada.
Bertekad mengembangkan tenun, dengan modal awal sekitar Rp 3,5 juta, itupun dana patungan bersama teman-teman pada 2004, Anindyah cs akhirnya mendirikan Lawe. Mayoritas modal awal dialokasikan untuk membeli kain.
"Kami mulai eksperimen untuk produk eksplorasi pewarnaan motif sedangkan untuk pengembangan produknya, kami bekerja sama dengan kelompok perajin penjahit,"
Anindyah mendorong perajin lokal untuk lebih berani dan dinamis dalam bermain warna. Mereka pun menggali potensi produk, sehingga pengembangannya bisa menjadi tas, bantal, kantong, hingga aksesoris. Adinindyah juga berusaha mengembangkan kain tenun dari Sumba Timur, Lampung, dan Pontianak.
Kenapa namanya LAWE?
Produk ini berasal dari nama lawe yang berarti serat alam, atau benang.
Kain lurik itu sendiri, adalah kain yang diperoleh melalui proses penenunan dari seutas benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa menjadi selembar kain katun.
Proses pembuatan kain lurik diawali dari pembuatan benang tukel, tahap pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan, penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak yang dihasilkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang dijalin sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai variasinya.
Benarkah LAWE tidak laku di pasaran Indonesia? Apa solusinya?
Ha ha... tentu saja pertanyaan ini wajib diajukan kepada konsumen Indonesia. Secara gitu, orang Indonesia memang jarang yang membeli sesuatu bernilai seni, dengan alasan tidak punya uang lebih, tapi giliran produk internesyenel... astagaaaah... tas harga 2 juta pun dibilang murah!
Untung, Lawe gak patah semangat. "Memang, untuk beli tenun saja harganya sudah tinggi, apalagi setelah diolah jadi produk," begitu mereka menyemangati diri.
Solusinya... LAWE hadir dengan cara dipresentasikan sendiri!
Menyiasati harga yang mahal, karena kain tenun dibuat dengan tangan dan butuh waktu pengerjaan yang lama, Lawe mengolah kain tenun menjadi satu bentuk baru seperti dompet, gantungan kunci, tas, dan pakaian yang unik. Sehingga, dengan membuat produk turunan dari tenun, masyarakat dapat menikmati tenun dengan harga yang lebih terjangkau.
Saat ini, Lawe sudah 7 tahun sukses penetrasi pasar dan bergerak lebih stabil. Produk Lawe sekarang dikenal secara nasional dan juga internasional. Lawe rajin mengikuti pameran, dan salah satunya adalah pameran di Inacraft seperti sekarang.
Family and friend base, solusi sederhana pemasaran Lawe
Lawe sangat jeli melihat peluang pemasaran, mereka tak hanya mengenalkan produknya lewat dunia media sosial, tapi Lawe juga menekankan pada penjualan secara langsung.
Lawe tidak hanya menjual produk, tetapi juga membangun kedekatan personal dengan para pembelinya. Pembeli bahkan tertarik dan mengajak kerja sama untuk mengadakan program, seperti penyuluhan pembuatan kerajinan tangan di daerah asal pembeli.
Untuk tahun 2017, Lawe berhasil menembus pemasaran di Jakarta, Yogyakarta, dan beberapa titik di Bali. Sedangkan, untuk pasar internasional, produk Lawe sudah melanglang buana hingga ke Jepang, Belgia, Australia, hingga Amerika Serikat.
Lawe malah pernah mendapat tawaran menggiurkan dari sebuah perusahaan ritel asal Jepang. Perusahaan yang memiliki 11 ribu gerai tersebut meminta Lawe memasok produknya di setiap gerai yang ada. Keterbatasan SDM membuat Lawe belum bisa menerima tawaran tersebut!
Outlet LAWE
Saat ini, Lawe sudah memiliki 20 outlet yang tersebar di Jakarta, Yogya, dan Bali di mana sebagian besar merupakan kerja sama dengan menitipkan produk Lawe.
Omzetnya per tahun mencapai Rp 2 miliar untuk penjualan lokal dan internasional. Hasil keuntungan, dialokasikan untuk gaji dan juga membeli bahan untuk operasional sebagai stok bahan baku.
Personel yang ada di Lawe saat ini berjumlah 17 orang dengan terbagi di sejumlah divisi. Antara lain, divisi produksi, pemasaran, administrasi, serta dua orang penjahit in house. Sedangkan penjahit yang bekerja dari rumah masing-masing sudah berjumlah 25 orang.
Alamat Showroom LAWE saat ini ada di Jalan Prof.Dr. Ki Amri Yahya No 6 Yogyakarta dengan nomor telepon 0274-558517
Kita juga bisa intip kegiatan LAWE di website http://www.houseoflawe.com dan serta fanpage dan instagram : house of lawe
Community Social Enterprise
Konsep awal dari Lawe, adalah community social enterprise di mana keuntungan yang didapat digunakan untuk kepentingan bersama dan juga untuk program pemberdayaan manusia.
"Tim inti di workshop LAWE ada 17 orang, tapi teman bermitra seperti penenun LAWE bekerja sama dengan para penjahit,"
Ibu-ibu penjahit ini mengerjakan pesanan di rumah masing-masing. Dengan begitu, para ibu penjahit dapat memiliki waktu lebih banyak bersama keluarganya. Jargon yang menjadi ide besar mereka, disebut dengan ‘Mother Friendly Working Hours’.
So, mau kekinian dengan mengenakan wastra Indonesia? Pakai Lawe lurik, pasti banyak yang melirik!Solusinya... LAWE hadir dengan cara dipresentasikan sendiri!
"Ternyata, setelah kita presentasikan sendiri, bagus hasil dan responsnya, story behind the product bantu sekali,"As always, apresiasi pertama adalah dari ekspatriat, yang bersedia membantu dengan promosi cuma-cuma.
Menyiasati harga yang mahal, karena kain tenun dibuat dengan tangan dan butuh waktu pengerjaan yang lama, Lawe mengolah kain tenun menjadi satu bentuk baru seperti dompet, gantungan kunci, tas, dan pakaian yang unik. Sehingga, dengan membuat produk turunan dari tenun, masyarakat dapat menikmati tenun dengan harga yang lebih terjangkau.
Saat ini, Lawe sudah 7 tahun sukses penetrasi pasar dan bergerak lebih stabil. Produk Lawe sekarang dikenal secara nasional dan juga internasional. Lawe rajin mengikuti pameran, dan salah satunya adalah pameran di Inacraft seperti sekarang.
Family and friend base, solusi sederhana pemasaran Lawe
Lawe sangat jeli melihat peluang pemasaran, mereka tak hanya mengenalkan produknya lewat dunia media sosial, tapi Lawe juga menekankan pada penjualan secara langsung.
Lawe tidak hanya menjual produk, tetapi juga membangun kedekatan personal dengan para pembelinya. Pembeli bahkan tertarik dan mengajak kerja sama untuk mengadakan program, seperti penyuluhan pembuatan kerajinan tangan di daerah asal pembeli.
Untuk tahun 2017, Lawe berhasil menembus pemasaran di Jakarta, Yogyakarta, dan beberapa titik di Bali. Sedangkan, untuk pasar internasional, produk Lawe sudah melanglang buana hingga ke Jepang, Belgia, Australia, hingga Amerika Serikat.
Lawe malah pernah mendapat tawaran menggiurkan dari sebuah perusahaan ritel asal Jepang. Perusahaan yang memiliki 11 ribu gerai tersebut meminta Lawe memasok produknya di setiap gerai yang ada. Keterbatasan SDM membuat Lawe belum bisa menerima tawaran tersebut!
Outlet LAWE
Saat ini, Lawe sudah memiliki 20 outlet yang tersebar di Jakarta, Yogya, dan Bali di mana sebagian besar merupakan kerja sama dengan menitipkan produk Lawe.
Omzetnya per tahun mencapai Rp 2 miliar untuk penjualan lokal dan internasional. Hasil keuntungan, dialokasikan untuk gaji dan juga membeli bahan untuk operasional sebagai stok bahan baku.
Personel yang ada di Lawe saat ini berjumlah 17 orang dengan terbagi di sejumlah divisi. Antara lain, divisi produksi, pemasaran, administrasi, serta dua orang penjahit in house. Sedangkan penjahit yang bekerja dari rumah masing-masing sudah berjumlah 25 orang.
Alamat Showroom LAWE saat ini ada di Jalan Prof.Dr. Ki Amri Yahya No 6 Yogyakarta dengan nomor telepon 0274-558517
Kita juga bisa intip kegiatan LAWE di website http://www.houseoflawe.com dan serta fanpage dan instagram : house of lawe
Community Social Enterprise
Konsep awal dari Lawe, adalah community social enterprise di mana keuntungan yang didapat digunakan untuk kepentingan bersama dan juga untuk program pemberdayaan manusia.
"Tim inti di workshop LAWE ada 17 orang, tapi teman bermitra seperti penenun LAWE bekerja sama dengan para penjahit,"
Ibu-ibu penjahit ini mengerjakan pesanan di rumah masing-masing. Dengan begitu, para ibu penjahit dapat memiliki waktu lebih banyak bersama keluarganya. Jargon yang menjadi ide besar mereka, disebut dengan ‘Mother Friendly Working Hours’.
keren di PBB, tapi PBB sayangnya made in Ruthchild :(
BalasHapusLah kok salah fokus mas hehehhehe
BalasHapusAku suka lihat kain lurik tapi belum punya,,, pas lihat sekarang kainnya jadi beragam gak melulu warna coklat atau hitam jadi kepengen punya,,,, hehehe
BalasHapusLihat produk produknya jadi pengen borong semuanya, Mak. Hehhehe
BalasHapusSering denger nih LAWE.. Corak khas lawe genjreng genjreng ya mak? Lawe ini ada singkatannya ga sih? Pengen punya phasmina dr lawe ada ga ya?
BalasHapusSaatnya masyarakat Indonesia turut support produk lokal dengan beli dan gunakan. Terima kasih untuk informasinya.
BalasHapusPadat dan lengkap. Produk lokal yg selalu menjadi nomer satu dengan kualitas nya. Lawe is The best
BalasHapusBaru tahu namanya Lawe. Yg saya tahu cuma Jarit sama Sewek gitu Maak
BalasHapusga heran banyak peminatnya, lawe produknya unik, warna &motifnya kekinian
BalasHapusproduk yg menarik, dan ada idealisme dibelakangnya. Keren!
BalasHapusIni yg kainnya agak keras yak. Cantik sih klu dah jadi aneka macam produk. Salut juga msh ada yg mau melestarikan...
BalasHapusproduk bahan alami emang keren dan unik.
BalasHapus