Sexual Harrasment, Does Exist!
- Korban sexual harrasment, biasanya tak berani mengatakannya kepada siapa pun. Ada rasa takut, malu, khawatir dilabeli dan dicecar pertanyaan seperti:
"Kenapa bisa ada di posisi itu?"
"Kenapa kamu bayar SPP sore menjelang magrib? Mengapa tidak dari pagi?"
"Mengapa kamu tidak minta salah seorang teman menemani hingga ruang Tata Usaha?"
dan lain sebagainya. - Trauma kejadian tersebut, ternyata masih terbayang hingga sekarang. Sangat sulit mengenyahkan perasaan tersebut, hanya saja jika dulu aku ketakutan meilhat pria berkumis tebal - atau bergidik jika melewati ruang Tata Usaha - atau bahkan Ruang Arsip di kantorku saat itu, maka sekarang sudah berkurang.
Aku bahkan memiliki kebiasaan mencuci tangan hingga pangkal lengan berulang kali, dalam kurun waktu lama, hingga bertahun-tahun. Kebiasaan ini menghilang sedikit demi sedikit - setelah aku membekali diri dengan olahraga lari dan bela diri. - Dampak terbesar, tentu saja untuk keluarga. Aku merasa tak suka jika suami memegang tanganku dalam tempo lama. Aku sangat cerewet terhadap anak-anak, mengingatkan bahayanya pergi sendiri.
- Aku selalu tak pernah lupa membawa gunting, cutter dan merica bubuk di dalam tas saat bepergian!
Rape Culture dalam Masyarakat, Melahirkan KAKG
"Jangan berpakaian terbuka, nanti digodain orang!"."Kenapa harus lewat jalan itu? Kenapa tidak memutar lewat jalan lain saja?"
"Sebagai perempuan, masing-masing di diri kita pernah menjadi penyintas (kekerasan seksual). Dan saya melihat negara kita itu sangat patriarkal, sehingga sangat susah untuk perempuan mencari keadilan kalau tidak ada dukungan yang cukup,".Kekerasan seksual memang kerap terjadi pada siapa saja baik perempuan, laki-laki maupun kaum minoritas. Akan tetapi, kentalnya budaya patriarki di Indonesia seringkali menjadi sumber dari banyaknya persoalan seputar kekerasan seksual.
Budaya patriarki yang cenderung menyalahkan korban (victim blaming) dari keluarga, masyarakat hingga aparat penegak hukum ini kerap kali menjadi batu sandungan bagi para korban yang tidak mendapatkan pendampingan yang memadai.
Keprihatinan atas hal inilah yang membuat Justitia Avila Veda mendedikasikan dirinya untuk menolong korban kekerasan seksual. Awalnya, advokat yang bekerja di sebuah LSM konservasi ini memulai upaya bantuannya ini dengan sebuah tawaran konsultasi melalui akun Twitter-nya @romestatute pada 2020 silam. Rupanya kicauannya yang menawarkan bantuan untuk para korban kekerasan seksual ini mendapat respon positif dari warganet.
Selama 24 jam pertama, direct message dan email-nya dibanjiri oleh berbagai pertanyaan mengenai kekerasan seksual. Tidak hanya itu, beberapa pengacara dan jaksa juga menawarkan dukungan kepadanya. Melihat antusiasme masyarakat atas informasi mengenai kekerasan seksual ini yang mendorong Justitia Avila Veda membentuk Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) pada Juni 2020 lalu.
Terbentuknya Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) merupakan sebuah kolektif pengacara dengan anggota kurang lebih 20 orang yang fokus untuk memberikan konsultasi dan bantuan hukum secara pro bono (pengabdian masyarakat) untuk korban kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya.Salah satu tujuannya untuk menghindari terjadinya revictimisasi atau suatu kondisi di mana korban kembali menjadi korban untuk kedua kalinya saat mencari bantuan hukum.
Menurut Veda, korban kekerasan seksual rentan terhadap revictimisasi karena seringkali mereka mendapatkan stereotype dari aparat penegak hukum di saat mereka berusaha mengakses bantuan hukum.
Realitanya, kekerasan seksual pun tidak hanya terjadi secara langsung, kini pun sering terjadi secara online. Selama pandemi, KAKG mendapat banyak aduan mengenai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Dikutip dari Instagram @advokatgender, kekerasan berbasis gender adalah kekerasan fisik, psikis atau seksual yang bermula dari asumsi status gender tertentu.
"KBGO banyak terjadi dalam situasi pandemi. Karena mereka kebanyakan di dalam rumah dan interaksi mereka berpindah dari offline dan online," jelas Veda.
Dibentuk saat situasi pandemi Covid-19, KBGO mendominasi kasus yang ditangani oleh tim KAKG dari sebanyak lebih dari 150 aduan yang masuk. Selain itu, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga menjadi yang terbanyak diadukan.
Sementara itu menurut data Komnas Perempuan, pada 2020 angka kekerasan berbasis gender siber mengalami kenaikan pesat, hampir 400 persen. Data SIMFONI PPA pada Januari-2 Desember 2021 menunjukkan, kasus KDRT mendominasi bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan, yakni 74 persen dari total 8.803 kasus.
Data tersebut juga mengungkapkan, selama pandemi pada 2021 terdapat 12.559 kasus kekerasan terhadap anak. Kasus kekerasan seksual menjadi kasus kekerasan terhadap anak yang paling banyak dilaporkan, yakni 60 persen dari total kasus.
Cara Mendapatkan Pendampingan Hukum KAKG
KAKG membuka konsultasi hukum untuk siapapun secara online di seluruh Indonesia. Dari formulir online yang bisa diakses di akun Instagram @advokatgender, nantinya akan dilakukan penilaian apakah aduan tersebut perlu pendampingan hukum secara langsung, litigasi dan non litigasi.
Jika korban ingin menempuh jalur hukum atau litigasi, biasanya pihak advokat juga akan menyediakan bantuan psikologi dan medis, mengingat proses penyidikan hingga pengadilan yang memakan waktu panjang dan akan berdampak pada psikis korban. Akan tetapi, tidak semua korban mau menyelesaikan ke proses litigasi dan lebih memilih jalur di luar pengadilan (non litigasi).
Dengan keterbatasan sumber daya manusia dan juga waktu, KAKG kemudian membuat kelompok penerima manfaat prioritas seperti korban anak, disabilitas, kelompok minoritas seksual dan konflik untuk proses litigasi. Sementara itu untuk korban yang lokasinya berada di luar kota, pihak KAKG akan berupaya mendampingi satu hingga dua kali dan berkoordinasi dengan mitra Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di kota setempat.
"Proses litigasi bisa memakan waktu sangat panjang dan sangat patriarkal. Bahkan ada beberapa kasus yang kalau dilaporkan ke polisi tidak menguntungkan korban, sehingga lebih banyak yang non litigasi," tutur lulusan University of Chicago Law School ini.
Veda lalu mewanti-wanti para pengacara, konsultan, hingga
orang-orang di luar sana yang secara sengaja maupun tidak menekan korban untuk
melapor. Menurut Veda, kita tidak boleh memaksa korban untuk mengambil
keputusan melaporkan kasusnya.
Kita tidak boleh punya mindset kalau kamu mengalami kasus ini
[kekerasan seksual] kamu harus lapor, tidak bisa, kita tidak bisa. Kita seperti
mengambil alih agensi korban untuk memutuskan apa yang terbaik buat dia."
-Justitia Avila Veda
Lebih lanjut, Veda memaparkan tugas pengacara sebenarnya adalah
memberikan informasi, positif-negatifnya dan pro kontra, kemudian memberikan advice.
Bukan untuk membuat keputusan bagi korban.
"Make sure mungkin ada self critic juga atau
gerakan yang mungkin mendorong, misalnya, ini kasus yang harusnya dilaporkan,
balik lagi korbannya mau atau tidak. It's not about you sebagai
pendamping, tapi is always about the victim," ucap dia.
Kendala dan Batu Sandungan dalam Hadapi Kasus
Begitu juga dengan konten pornografi yang dibuat oleh korban yang pernah berpacaran dengan pelaku. Meski korban tidak mengizinkan video tersebut disebarluaskan oleh pelaku, dalam hal ini korban juga dapat menjadi tersangka yang membuat konten pornografi.
"Kasus seperti ini banyaknya kami tangani secara non litigasi," ujar Legal and Policy Manager di Konservasi Indonesia tersebut.
Kendala lainnya adalah kurangnya respon cepat dari aparat penegak hukum. Akan tetapi, ia juga tidak menyarankan memviralkan suatu kasus agar mendapatkan respon cepat.
Fenomena memviralkan kasus demi mendapatkan respon cepat aparat penegak hukum, membuat Veda merasa miris. Menurutnya ini sangat mengecewakan dan menodai norma hukum di negara kita ketika aparat penegak hukum baru merespon saat mendapatkan perhatian publik.
Dari sisi korban, ia juga tidak menyarankan hal ini untuk dilakukan mengingat korban kekerasan seksual pasti mengalami trauma dan belum tentu akan mendapatkan pembelaan dari warganet. Ini dapat membentuk situasi revictimisasi dan akan semakin membuat mental korban jatuh.
"Saya kurang suka cara tersebut, apalagi kalau bukan korban yang minta. Tidak menghargai korban sebagai pemilik cerita dan hasilnya akan sangat random karena kita tidak tahu akan seperti apa respon netizen," tutur Veda.
Kendati begitu, kehadiran UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru diterbitkan pada Mei 2022 lalu dianggap menjadi angin segar dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di Indonesia. Hanya saja, Veda menilai bahwa undang-undang ini belum diimplementasikan dengan baik oleh aparat penegak hukum.
Penghargaan SATU Indonesia Awards 2022
Upaya Justitia dan KAKG untuk membantu para korban kekerasan seksual membawanya pada penghargaan bergengsi ini. Apresiasi SATU Indonesia Awards 2022 Bidang Kesehatan yang diterima Justitia diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekerasan seksual dan kehadiran KAKG untuk membantu para korban.
Selain itu, apresiasi dari PT Astra International Tbk. ini telah mendukung KAKG dalam hal finansial untuk berbagai proses litigasi yang diperjuangkan kolektif ini.
"Biaya litigasi sangat mahal. Dari penghargaan ini kami mendapatkan dukungan finansial dari Astra yang sangat membantu beberapa biaya operasional kasus yang tertunda," ujar Veda.Ke depannya, Veda berharap dari jejaring para penerima apresiasi, KAKG dapat menjalin lebih banyak kerjasama dengan mitra advokat di daerah. Dengan demikian, semakin banyak korban kekerasan seksual yang dapat dibantu secara maksimal.
- https://www.satu-indonesia.com/
- IDNtimes
- Republika
- viva.co.id
- beautynesia.id
Wah benar banget tuh, Kak memang para korban kekerasan harus mendapatkan perlindungan
BalasHapusSaya jadi keinget juga nih, Kak sama kejadian saya dulu yang mengerikan huhu
BalasHapusWah benar banget tuh, Kak memang upaya Justitia dan KAKG untuk membantu para korban kekerasan seksual harus diberi apresiasi
BalasHapusSaya selalu merinding, Kak kalau ada cerita korban kekerasan gitu. Kasihan huhu
BalasHapusKeren banget nih, Kak memang kegiatan untuk melindurngi para korban. Semoga sukses selalu
BalasHapus