Setitik Hikmah


    Pak Darto dikenal oleh semua orang di Desa Muara sebagai sumber kebijaksanaan dan ketenangan. Entah sejak kapan, Pak Darto sering menjadi tempat curhat semua penduduk desa. Mulai dari orang tua hingga anak-anak, merasa mendapat setitik hikmah jika berkunjung ke rumahnya.

    Tak terkecuali pagi itu, Bima yang tengah dilanda kebingungan dan merasa menemukan jalan buntu ke manapun ia pergi. Dengan membulatkan tekad, Bima melangkahkan kakinya ke arah rumah Pak Darto, berharap mendapatkan pencerahan!

    "Spadaaa! Assalamualaikuum!" uluk Bima.

Pak Darto yang sedang memberi makan ayam-ayam, menaikkan alis. Ia tersenyum ramah, dan menjawab salam Bima. Memang, tak hanya sekali ini Bima mampir ke rumah Pak Darto. 
Bima mengangsurkan sebuah piring berisi pisang goreng buatan Ibu. 

    "Wah, terimakasih Bim. Hayo Bim, duduk di teras. Nikmat mana lagi yang kita dustai, ketika pagi-pagi sudah dibawakan sepiring pisang goreng? Pasti enak disantap dengan teh hangat!"

    Pak Darto mengajak Bima untuk duduk di beranda, di tangannya sudah ada nampan berisi dua buah gelas, dan sebuah teko yang uapnya terlihat berkepul. Ia menuangkan teh ke dalam gelas pertama hingga penuh, lalu beralih ke gelas kedua yang sudah terisi air.

    "Lihat baik-baik, Bima," kata Pak Darto sambil menuangkan teh ke dalam gelas kedua yang masih berisi air. Teh itu meluap dan tumpah kemana-mana, bercampur dengan air yang sudah ada di dalam gelas.

    Bima terdiam, tak paham maksud dari perbuatan Pak Darto. Pak Darto pun melanjutkan, "Gelas kedua ini seperti dirimu saat ini, penuh dengan berbagai pikiran, perasaan, dan beban masa lalu. Ketika aku mencoba menuangkan sesuatu yang baru, semuanya menjadi berantakan dan tercampur aduk."

    Pak Darto lalu mengosongkan gelas kedua dan menuangkan teh lagi. Kali ini, teh mengisi gelas dengan sempurna, tanpa tumpah dan bercampur dengan air lain. 

    "Ketika kau mengosongkan gelasmu, kau siap menerima hal baru dengan lebih baik. Dalam hidup, mengosongkan gelas berarti melepaskan beban masa lalu, prasangka, dan ekspektasi. Hanya dengan begitu, kau bisa menerima kondisi baru dengan hati yang lapang dan pikiran yang jernih."

    Bima terkesiap.

    "Kok Bapak tahu, saat ini saya sedang memikirkan banyak hal?" Ia menggeleng kagum. Apakah Pak Darto sejenis cenayang? Pikiran Bima mengembara, tapi ia tepis karena Pak Darto tertawa terkekeh.

    "Loooh ya tahu, toh Bim. Wong wajahmu kusam, bawah matamu hitam celong, dan dari tadi kamu datang tidak sadar kalau sandalmu beda-beda!"

Bima segera menunduk. Alamak! Sebelah kakinya mengenakan sandal hitam kulit kesayangan, dan sebelahnya..... sandal merah marun milik Ibu!

Mereka pun tertawa. Pak Darto mentertawakan Bima dan Bima tertawa karena malu!

    Setelah bercakap-cakap, Bima pamit. Di pagar, pak Darto menepuk pundak Bima. "Inget Bim, kadang Tuhan itu menaruh kita di tempat yang menurut kita salah, padahal tepat di situlah ada sekarung permata yang indah. Begitu pula dengan diri kita semua ketika dilanda masalah. Insya Allah selalu ada hikmah!"

    Di rumah, Bima merenung, menyadari bahwa ia selama ini terlalu terikat pada masa lalu dan terlalu khawatir akan masa depan. Ia mengangguk pelan, merasa tercerahkan oleh perumpamaan sederhana itu.

    Sejak hari itu, Bima berusaha mengosongkan "gelasnya" setiap hari. Ia belajar menerima setiap perubahan dan tantangan dengan hati terbuka dan pikiran yang siap. Kehidupannya pun perlahan berubah, penuh dengan ketenangan dan kebijaksanaan yang ia pelajari dari gelas teh di rumah Pak Darto.

picture by bing

Tidak ada komentar

Posting Komentar

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)