Mengenal Emotional Spending, Belanja Impulsif, dan Kelola Kecerdasan Emosional


    Setiap orang yang mengenal Sarah, seolah melihat kehidupan impian  Cinderella jaman milenial. Di usia 30 tahun, Sarah yang berperawakan ramping dengan rambut dicat pirang tergerai, sudah mendapat penghasilan yang cukup mapan.  

    Dengan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sedikit bersenang-senang, Sarah tampak menikmati hidup. Namun, di balik senyumnya, Sarah menyimpan kebiasaan yang diam-diam menggerogoti stabilitas keuangannya—belanja impulsif!

Belanja impulsif adalah tindakan membeli barang atau jasa secara tiba-tiba dan tanpa perencanaan sebelumnya, biasanya didorong oleh dorongan atau keinginan sesaat untuk mendapatkan kepuasan instan.
    Nah, setiap kali merasa stres, kecewa, atau sekadar bosan, Sarah punya cara andalan untuk melupakan masalahnya: belanja online. Sepintas, metode ini tampak efektif. Paket-paket yang tiba di depan pintu rumahnya memberi kepuasan instan, sebuah pelarian dari kenyataan yang melelahkan. 

    Selain belanja bukan karena butuh tapi untuk meluapkan sesuatu - yang disebut dengan emotional spending - baik online maupun offline, Sarah hobi banget mencoba aneka makanan minuman kekinian yang berseliweran di platform media sosial. Ia bahkan punya beberapa grup whatsapp yang sehobi yaitu : kulineran. 

    Grup-grup ini memiliki "ritual jajan bareng" - yang kadang dibarengi dengan menggunakan dress code agar terlihat cantik dan estetik saat difoto. Nah bayangin jika setiap minggu grup-grup ini mengikuti ritual jajan mereka. Akibatnya Sarah harus belanja online lagi demi terlihat serasi dengan grupnya, dan ia harus merogoh kocek lebih dalam, bahkan beberapa kartu kredit untuk memuaskan hobi tersebut!


    Awalnya, gaya hidup ini tidak menimbulkan masalah yang berarti. Namun, seiring berjalannya waktu, tanda-tanda keuangan yang goyah mulai muncul. Hutang kartu kredit Sarah terus menumpuk, bunga yang semakin tinggi, dan tekanan finansial yang perlahan-lahan mengintai. Setiap bulan, Sarah merasa seperti berjalan di atas tali tipis, mencoba menjaga keseimbangan antara keinginan dan kewajiban finansialnya.

    Puncaknya terjadi ketika Sarah menyadari bahwa kebiasaannya sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Suatu hari, setelah menerima tagihan kartu kredit yang mengejutkan, dia merasa cemas dan putus asa. 

Kecerdasan Emosional Adalah Kunci


Dalam keputusasaan, Sarah memutuskan untuk mencari bantuan, syukurlah ia  kemudian bertemu dengan temannya, seorang konselor keuangan.

    Pertemuan dengan konselor tersebut menjadi titik balik dalam hidupnya. Konselor memperkenalkan Sarah pada konsep yang belum pernah ia pikirkan sebelumnya: kecerdasan emosional. 
Ternyata, kecerdasan emosional bukan hanya tentang bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, tetapi juga bagaimana kita mengelola diri sendiri—termasuk keputusan finansial kita.

    Sarah mulai menyadari bahwa kebiasaan belanja impulsifnya adalah cara dia melarikan diri dari emosi negatif. Setiap kali dia merasa tertekan, alih-alih menghadapi perasaannya, Sarah lebih memilih jalan pintas dengan berbelanja, berharap bahwa dengan membeli sesuatu yang baru, perasaannya akan membaik. Namun, efeknya hanya sementara, dan masalah utamanya tidak pernah benar-benar teratasi.
Kecerdasan emosional, atau kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi, memainkan peran penting dalam banyak aspek kehidupan kita, termasuk dalam hal keuangan. Bukan hanya soal bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, kecerdasan emosional juga bisa mempengaruhi cara kita membuat keputusan keuangan.
    Dengan bimbingan konselor, Sarah belajar untuk meningkatkan kesadaran diri dan mengenali kapan dan mengapa dorongan untuk berbelanja muncul. Dia mulai mencatat pola emosionalnya dan mencoba memahami pemicu-pemicu yang mendorongnya untuk melakukan pengeluaran yang tidak perlu.

    Sarah juga diajarkan teknik-teknik pengelolaan diri yang lebih sehat, seperti meditasi dan latihan pernapasan. Perlahan-lahan, dia mulai menggantikan kebiasaan belanjanya dengan aktivitas yang lebih positif. Ketika merasa stres, daripada membuka aplikasi belanja online, Sarah mulai memilih untuk berjalan-jalan di taman atau menulis di jurnalnya. 

    Selain itu, Sarah juga mulai belajar untuk menetapkan batasan dalam lingkup sosialnya. Dia belajar mengatakan “tidak” pada undangan makan di restoran mahal jika itu di luar anggarannya. Ternyata, teman-temannya pun memahami dan tidak menganggap keputusan Sarah sebagai hal yang aneh. Bahkan, beberapa dari mereka juga mulai mengikuti jejak Sarah, mencari cara-cara bersenang-senang yang tidak harus merusak kantong.

    Dengan peningkatan kecerdasan emosionalnya, Sarah mulai merasakan perubahan yang signifikan dalam hidupnya. Hutangnya perlahan-lahan terlunasi, dan rasa cemas yang dulu sering menyertainya setiap kali melihat tagihan kartu kredit kini mulai sirna. Lebih dari itu, Sarah merasa lebih berdaya, lebih mengendalikan hidupnya, dan lebih mampu membuat keputusan finansial yang bijak.

    Kisah Sarah adalah pengingat bagi kita semua bahwa terkadang, masalah finansial tidak hanya soal angka, tetapi juga soal bagaimana kita mengelola emosi dan kebiasaan kita sehari-hari. Dengan memahami dan mengelola emosi dengan lebih baik, kita bisa menghindari jebakan-jebakan finansial dan menjalani hidup dengan lebih stabil dan bahagia.

Kenapa Kecerdasan Emosional Penting dalam Keuangan?



    Pernah nggak sih, kamu merasa pengen belanja karena lagi stress atau sedih? Nah, ini yang sering disebut "emotional spending" atau belanja karena emosi. Orang yang kurang mampu mengelola emosinya seringkali terjebak dalam kebiasaan belanja impulsif. Alih-alih menunda kepuasan jangka pendek untuk stabilitas jangka panjang, mereka justru menghabiskan uang tanpa pikir panjang, yang akhirnya bisa bikin mereka terjebak dalam hutang.

    Mengelola keuangan itu perlu pemikiran jangka panjang. Tapi, buat yang kecerdasan emosionalnya rendah, ini bisa jadi tantangan besar. Mereka cenderung kesulitan dalam menyusun anggaran dan sering kali nggak bisa memprioritaskan pengeluaran yang sehat. Akibatnya, pengeluaran jadi lebih besar daripada pemasukan, dan jalan keluar yang diambil biasanya berhutang.

    Tekanan dari lingkungan sekitar juga bisa jadi faktor. Orang yang kurang cerdas secara emosional mungkin merasa perlu untuk ikut-ikutan gaya hidup teman-temannya, meskipun mereka sebenarnya nggak mampu. Rasa takut mengecewakan atau nggak diterima bisa bikin mereka meminjam uang atau menggunakan kartu kredit untuk ikut dalam aktivitas yang mahal.

    Kecerdasan emosional bukan hanya tentang memahami emosi, tapi juga tentang membuat keputusan yang bijak dalam segala aspek kehidupan, termasuk keuangan. Jadi, yuk mulai kenali emosi kita dan kelola keuangan dengan lebih bijak!

ilustrasi gambar dari Pinterest 

14 komentar

  1. Alhamdulillah gapernah merasa stres atausedih kalau merasa pengen belanja mbak beraarti ga masuk ke emotional spending ya. Kadang kaya butuh A tapi mikir-mikir lagi eh gak usah deh udah ada yang B di rumah seringnya gitu.
    Kadang ada di suatu kelompok terbawa beli ini itu makanay suka membatasi diri kumpul-kumpul

    BalasHapus
  2. Saya banget itu seperti Sarah waktu belum menikah. Setiap kali merasa marah, saya langsung ngemall dan belanja banyak banget. Untungnya gak sampai berhutang. Ketolong karena dulu gak punya kartu kredit. Tapi, udahannya nyesek karena gaji cepat habis hahaha. Alhamdulillah mulai berubah setelah menikah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku tu nulis karena pernah di titik itu juga mom Chi. sampe deg degan gitu kalo barang yang diinginkan ga kebeli!

      Nah sekarang aku Alhamdulillah lebih santuy

      Hapus
  3. Duh belanja impulsif itu banyak kerugiannya. Makanya sebelum window shopping aku selalu ngomong sama diri sendiri, ini mau atau perlu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. yes... itu salah satu penyelesaian yang bijak mbak dy

      Hapus
  4. Kasihan ya Sarah yang kala itu tidak bisa mengelola hasrat berbelanja online karena berbagai perasaan yang dilaluinya. Jadi menumpuk utang, lelah juga terus-menerus mengikuti gaya hidup bersama grupnya. Alhamdulillah, sudah sadar pada akhirnya. Kalau aku insya allah ga begitu, masih bisa mengontrol emosi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kasian kalau ga bisa ngontrol belanja atau mengontrol gaya hidup

      Hapus
  5. Mak.. yang masih jadi peer aku nih, kelola emosyiiii. Pengen banget bisa kelola emosinya 😍 makasih ilmunya ya mba, yuk bisabyuk

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu dia! emosi berperan besar terhadap lifestyle ternyata

      Hapus
  6. Wah jadi keinget sama novel dan film Shopaholic yang tokohnya kelibet hutang kartu kredit karena belanja impulsif. To be honest, aku beberapa kali suka belanja impulsif karena lagi bete. Tapi dikit-dikit mulai berusaha berubah dengan cara refleksi diri, seberapa butuh sih barang yang dibeli itu, apakah pengunaan jangka panjang atau pendek? dst

    BalasHapus
    Balasan
    1. apalagi liat kosmetik bagus dan murah yaaa Tya hahahha.. aku tadinya pas masih gambar begitu. Obsessed.

      Hapus
  7. Iya ada yang pelampiasan emosi dengan makan, ada yang belanja, keduanya berbahaya ya apabila tak dikelola dengan baik karena yang satu bikin gemuk dan tak sehat, satunya bisa bikin boros bahkan terjerat hutang..huhu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebelum kenal seni melepaskan ala Sedona methode aku juga gitu jeng Dew, sedih deh

      Hapus

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)